Senin, 05 Januari 2015

Wayang Kulit Cirebon

Wayang kulit cirebon merupakan sebuah ragam wayang kulit yang ada di nusantara termasuk didalamnya negara-negara Asia Tenggara. Di wilayah nusantara yang terdiri dari banyak pulau dan beraneka ragam etnis, jenis gaya wayang kulit begitu melimpah ditemui, misalnya di beraneka jenis wayang kulit di pulau Jawa, wayang narta di Bali, wayang sasak di Lombok, wayang Melayu di Terengganu, Malaysia hingga wayang Nang Yai dan Nang Thalung di Thailand.
Pengaruh agama Hindu dan Budha dari India sangat kuat pada kawasan nusantara, beragam kisah yang berasal dari Hindu dan Budha pun lazim di pertunjukan sebagai bagian dari cerita pagelaran wayang kulit, contohnya seperti epik Ramayana dan Maha Bharata.
Perkembangan wayang dari masa Hindu Budha ke masa Islam di nusantara terutama di wilayah pulau Jawa termasuk di wilayah Kesultanan Cirebon merupakan sebuah bentuk dari diplomasi dakwah yang dilakukan oleh para ulama-ulama dan pihak penguasa lokal yang telah memeluk ajaran Islam, sebut saja Sunan Kalijaga yang berusaha keras mendiplomasikan antara seni wayang berbau non-Islam dengan seni wayang yang bernafaskan ajaran Islam. Berkat ajaran mereka, seni wayang kulit oleh sebagian pihak dimaknai mengandung ajaran Islam dalam setiap aspeknya, meskipun masih berkisah tentang epik-epik dari agama Hindu dan Budha. Para ulama-ulama tersebut seolah memang telah siap untuk menjaga kesinambungan dengan masa lalu dan menggunakan pemahaman dan unsur-unsur budaya pra-Islam ke dalam konteks Islam.[1]
Kesinambungan unsur-unsur non-Islam dengan unsur agama Islam pun dapat dengan mudah ditemui pada pagelaran Wayang kulit Cirebon, seperti contohnya sosok wayang Buta Liyong yang merupakan unsur kebudayaan cina yang diserap dalam pagelaran Wayang kulit Cirebon dan pengenaan jubah serta topi pada sosok wayang Dorna (Drona) yang merupakan pengaruh dari budaya Timur-Tengah, namun jika memfokuskan kepada jenis kesenian yang disebut sebagai Wayang kulit Cirebon maka Wayang kulit Cirebon merupakan jenis kesenian wayang dengan wilayah inti penyebarannya yang sangat terbatas, wilayah inti penyebaran wayang kulit cirebon hampir sama dengan wilayah kekuasaan kesultanan cirebon dan wilayah budaya orang Cirebon yakni dibatasi wilayah suku Betawi di barat, suku Sunda atau dalam bahasa cirebon disebut Wang Gunung di selatan dan suku Jawa atau dalam bahasa Cirebon disebut Wang Wetan di timur.
Menurut para budayawan cirebon, salah satunya adalah Ki Dalang Matthew atau lengkapnya Matthew Isaac Cohen, dalam sebuah catatan kuno cirebon yang diperkirakan berasal dari tahun 1607, telah dideskripsikan sebuah pagelaran wayang kulit cirebon dengan Suluk Wujil yang menyerati pagelarannya, pagelaran itu mengangkat sebuah cerita yang telah dikenal secara luas, yakni cerita Kresna Duta, lakon ini dimainkan oleh Dalang Sari dimana diantara para penontonnya ada Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Asal-usul

 Para budayawan cirebon sepakat bahwa eksistensi wayang kulit cirebon bermula dari kedatangan Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu dari sembilan wali atau biasa disebut Wali Sanga dalam bahasa Cirebon dimana Sunan Gunung Jati atau Sunan Jati sebagai ketuanya. Datangnya Sunan Kalijaga ke wilayah Cirebon bertujuan untuk menyebarkan dakwah islam dan media yang digunakan oleh Sunan Kalijaga pada waktu itu diantaranya adalah Wayang Kulit. Dalam budaya Cirebon terutama dalam budaya pedalangannya, Sunan Kalijaga dipercaya pada waktu itu disebut sebagai Ki Sunan Dalang Panggung, namun dalam versi yang lain Ki Sunan Dalang Panggung ini dipercaya sebagai Syekh Siti Jenar dan bukannya Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga ini pula yang memperkenalkan Suluk atau Syair 'Malang Sumirang yang merupakan suluk khas Cirebon.

 Perkembangan masa Kesultanan Cirebon

Manuskrip-manuskrip pewayangan cirebon pada zaman dahulu banyak beredar dikalangan bangsawan keraton cirebon dan para peminat sastra. pagelaran wayang kulit cirebon di kalangan keraton cirebon mengalami penurunan pada akhir abad ke 19 dikarenakan masalah terbatasnya dana untuk pagelaran wayang kulit cirebon, namun penyebabnya bukan hanya soal dana saja, mulai redupnya unsur-unsur tradisional cirebon dan bangkitnya pola-pola pengajaran barat model eropa termasuk didalamnya mulai maraknya pertunjukan-pertunjukan budaya barat dan semakin disukainya sepak bola dikalangan para bangsawan cirebon terutama yang hidup di wilayah Kuta Raja atau yang sekarang sebut sebagai Kota Cirebon juga menjadi penyebab menurunnya ketertarikan akan wayang kulit cirebon pada masa itu.
Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Kuta Raja, perkembangan wayang kulit cirebon di wilayah pedesaan yang agraris maupun di perkampungan nelayan masih memegang peranan yang sangat penting sebagai sebuah bagian tak terpisahkan dari sebuah perayaan adat. oleh masyarakat pedesaan dan perkampungan nelayan ini wayang kulit digelar untuk melengkapi berbagai ritual agama Islam, misalnya sunatan dan pernikahan serta untuk melengkapi berbagai acara adat setempa t seperti festifal panen padi atau dalam bahasa Cirebon disebut Mapag, Ruwatan Desa serta Nadran.
Pada pagelaran wayang kulit cirebon yang berhubungan dengan ritual agama Islam seperti sunatan dan pernikahan biasanya ditujukan untuk menghimpun para undangan dan dengan tujuan undangan yang datang akan menyumbang beras dan sebagian uang bagi yang disunat atau pengantin yang baru menikah.

Perkembangan masa modern

Pada masa modern desa-desa yang telah mendapatkan tayangan televisi, siaran radio serta telah beredar berbagai macam video dan cd di masyarakatnya, pagelaran wayang kulit cirebon masih dapat dilihat di desa-desa tersebut, walau mengalami penurunan pagelaran, namun rata-rata pagelaran yang dilakukan dalam setahun kira-kira sekitar 20-30 pagelaran wayang kulit cirebon.
Babad babad atau Suluk suluk kuno masih dapat didengar pada musim-musim pagelaran wayang kulit cirebon yang biasanya berada disekitar bulan Maret hingga November. Sementara pada masa lalu atau masa keemasan wayang kulit cirebon, suara-suara gemuruh dari pagelaran wayang kulit cirebon bisa didengar hampir setiap malam.
Sejak pertengahan abad ke 20 beberapa pihak praktisi pedalangan termasuk didalamnya para dalang-dalang Cirebon berusaha untuk mensiasati penurunan penonton karena lebih menyukai jenis hiburan asing dengan penggunaan teknologi modern seperti sistem suara (sound sistem), tata pencahayaan lampu (lightning), Pakeliran padat serta boneka wayang yang telah dimodifikasi agar dapat mengikuti pola cerita-cerita wayang yang baru atau disebut sebagai kanda anyar dalam bahasa Cirebon, seperti contoh karakter Denawa dalan Wayang kulit Cirebon milik Ki Dalang Mansyur dari Gegesik yang telah dimodifikasi agar dapat menampilkan adegan "terpenggal".
Langkah-langkah menggunakan unsur-unsur teknologi modern dan memodifikasi Wayang kulit Cirebon merupakan sebuah upaya diplomasi dari para budayawan Cirebon untuk menghadapi budaya modern yang dirasa lebih populer, cara ini ditempuh oleh para budayawan Cirebon untuk menghindari konflik yang bisa merugikan posisi seni dan budaya tradisional Cirebon itu sendiri.

Kelompok Pagelaran

Dalam wayang kulit cirebon kelompok pagelaran wayang kulit cirebon diketuai oleh Dalang sendiri dengan diiringi sekitar 10 hingga 15 musisi, namun beberapa dalang wayang kulit cirebonan menyarankan bahwa tatanan kelompok musisi yang mengiringi pagelaran wayang kulit cirebonan sebaiknya berjumlah 17 orang, jumlah tujuh belas ini diambil unsur agama Islam yakni jumlah rokaat shalat wajib dalam sehari.
Mulyaman seorang Pengageng Budaya (Penjaga Adat) di Palimanan, Cirebon menjelaskan tentang alat-alat musik yang digunakan untuk tujuh belas orang musisi yang mengiringi pagelaran wayang kulit cirebon, alat-alat tersebut yakni :
  1. Kendang
  2. Gong
  3. Saron
  4. Gender
  5. Kenong
  6. Jengglong
  7. Penerus (Demung)
  8. Gambang
  9. Beri (Simbal)
  10. Kebluk (Kempyang)
  11. Klenang
  12. Kemanak
  13. Ketipung
  14. Bedug
  15. Bonang
  16. Kemyang (Bonang Penerus)
  17. Suling
namun ada juga alat pengiring lainnya seperti, Saron Imbal atau yang biasa disebut sebagai kedua, Ketuk, Biol dan Titil (Peking), sehingga membuat jumlah ideal yang disebut tujuh belas tersebut hanya sebagai sebuah saran pagelaran saja karena pada praktiknya jumlah tujuh belas tersebut tidak selalu digunakan.
  

Gaya Pedalangan

Dalam budaya cirebon tidak hanya dikenal satu gaya pedalangan saja, namun banyak sekali gaya-gaya pedalangan lokal yang ada di Cirebon biasanya mengikuti tanah budayanya masing-masing. Gaya pedalangan lokal ini terpusat di desa-desa atau tanah-tanah budaya yang masih teguh memegang adat istiadat setempat dimana para dalangnya kebanyakan berasal dari keluarga yang turun-temurun mewariskan keahlian pedalangannya kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan.

Wayang kulit Cirebon gaya Gegesik

Salah satu gaya pedalangan dalam wayang kulit cirebon yang masih sangat terkenal hingga sekarang adalah Wayang kulit Cirebon gaya Gegesik dimana gaya Gegesik ini tumbuh dan berkembang di tanah budaya Gegesik di utara kabupaten Cirebon yang merupakan sebuah pedesaan agraris, dalam era modern sekarang tanah budaya gegesik meliputi hampir semua desa kecamatan Gegesik dan Kaliwedi di kabupaten Cirebon.
Tanah budaya Gegesik dalam era modern setidaknya telah menyumbang dua belas dalang profesional yang aktif menggelar pertunjukan Wayang kulit Cirebon gaya Gegesik, para musisi dari Gegesik yang biasa mengiringi para dalang juga dikenal akan tingkat profesionalisme mereka yang tinggi.

Wayang kulit Cirebon gaya Palimanan

Gaya pedalangan lainnya yang cukup terkenal adalah gaya Selatan atau lebih dikenal dengan nama gaya Palimanan, Wayang kulit Cirebon gaya Palimanan terpusat disekitar kecamatan Palimanan dan Gempol di kabupaten Cirebon yang merupakan kawasan industri.
Wayang kulit Cirebon gaya Palimanan dikenal dengan ciri khasnya menggunakan tangga nada heptatonis atau pelog pada permainan gamelannya. Gaya Palimanan ini kontras dengan kebanyakan gaya pedalangan yang lebih memilih untuk menggunakan tangga nada pentatonis atau dikenal dengan nama Prawa dalam bahasa Cirebon.
Para dalang Wayang kulit Cirebon gaya Palimanan biasanya memainkan pagelaran wayang kulit cirebon dengan tema islami seperti pada lakon Semar lunga kaji (Semar berangkat haji). Dimana cerita Semar lunga kaji mendeskripsikan usaha Semar untuk melakukan perjalanan haji ke mekah namun ditentang oleh saudaranya yang beragama hindu yang disebut Batara Guru atau dikenal dengan nama Siwa di wilayah Asia selatan.

Wayang kulit Cirebon gaya Dermaga Wetan (Jalan Timur)

Wilayah Pedalangan yang tidak ikut ke "kidul / selatan (gaya Palimanan)" atau "kaloran / ke utara (gaya Gegesik)" disebutnya gaya "Dermaga Wetan" karena mayoritas rumpun pedalangannya berada di sepanjang jalan timur kabupaten Cirebon, contohnya Wayang kulit Cirebon gaya Sempangan dengan dalangnya yang terkenal adalah Ami Banowati, Wayang kulit Cirebon gaya Sempangan merupakan salah satu dari gaya Wayang kulit Cirebon yang terancam punah dikarenakan kuranganya penerus-penerus muda yang mewarisi gaya pedangannya.
Wilayah penyebaran Wayang kulit Cirebon gaya Dermaga Wetan ini terdiri dari daerah yang terpencar-pencar, tapi membentuk koloni pedalangan tersendiri. Wilayahnya terdiri dari :
Pada wilayah tersebut, Wayang kulit Cirebon dimainkan dengan gaya yang berbeda-beda tergantung kedekatan silsilah dalang dengan wilayah asalnya.

Bahasa pedalangan

Bahasa pengantar yang digunakan pada pagelaran wayang kulit cirebon bisa dibagi kedalam dua periode waktu, yakni sebelum era tahun 1980-an dan setelahnya. Pada periode sebelum era tahun 1980-an bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar pagelaran wayang kulit cirebon adalah bahasa Cirebon dengan beragam dialeknya, termasuk diantaranya bahasa Cirebon dialek Indramayu atau yang biasa disebut sebagai basa dermayon yang digunakan di wilayah budaya Indramayu. Namun setelah era tahun 1980-an bahasa yang digunakan pada pagelaran wayang kulit cirebon mulai mengalami pergeseran dari hanya menggunakan bahasa Cirebon menjadi dicampur dengan bahasa Indonesia namun dengan logat khas bahasa Cirebon.[2]

Babad dan Karakter

Pada wayang kulit cirebon penyebutan nama babad atau cerita dan karakter-karakter pewayangannya memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan penyebutan babad pewayangan dalam pagelaran wayang kulit purwa gaya yogyakarta atau surakarta, sebagai contohnya Babad alas amer disebut sebagai Babad Wanamerta dalam pagelaran wayang kulit cirebon.
Penyebutan nama karakter pewayangannya juga memiliki perbedaan, diantaranya Kala Pracona dalam wayang kulit cirebon disebut sebagai Naga Pracana dan Kala Srenggi disebut sebagai Kala Jenggi.
Selain perbedaan penyebutan nama babad dan karakter pada Wayang kulit Cirebon, kesinambungan unsur pra-Islam dengan unsur agama Islam yang masuk ke wilayah budaya Cirebon pun masih dapat dilihat jelas pada bentuk visual karakter wayangnya, selain contoh Naga Liyong dan Guru Dorna (Drona) yang berjubah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada juga karakter lain yang merupakan wujud dari kesinambungan unsur pra-Islam dengan agama Islam, diantaranya Gunungan Jali atau Jaler pada pagelaran wayang kulit cirebon yang masih menampilkan wujud Ganesha sebagai pengaruh unsur agama Hindu yang merupakan salah satu unsur pra-Islam yang mewarnai wayang kulit cirebon.
Jika dibandingkan antara pembawaan bahasa babad yang digunakan pada wayang kulit purwa dengan wayang kulit cirebon, dialog yang dibawakan pada pagelaran wayang kulit cirebon lebih bernafaskan Islam.

Sumber :  http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Kulit_Cirebon
Gambar : Google

 

 


 

 

0 komentar:

Posting Komentar