ASAL USUL DESA BANJAR (JATIBARANG)
Banjar adalah nama tempat di daerah Bulak Kecamatan Jatibarang Kab.
Indramayu. Bajnar dikenal dengan nama Ki Buyut Banjar. Sampai sekarang
terkenal dengan keranya. Berdasarkan cerita orang tua, asal usulnya
adalah sebagai berikut.
Pada jaman dahulu ada lima kerajaan yang berkuasa di sini, yaitu:
1. Pagusten Pangeran Suryanegara (dari Cirebon)
2. Pangeran Mangkunegara (adik Pangeran Suryanegara), yang bertempat tinggal di desa Sleman.
3. Pangeran Kartanegara, bertempat tinggal di kampong Karangkendal.
4. Pangeran Martanegara, bertempat tinggal di gunung Jati.
5. Pangeran Patmanegara, bertempat tinggal di Wanacala (sebelah Timur Cirebon).
Diantara kelima Pangeran itu, Pangeran Suryanegaralah yang paling
berkuasa dan yang paling mempunyai kesaktian. Daerah yang dikuasainya
yaitu: sebelah barat Bulak, Kedungwarak Bungkak, Kesambi Jamprah,
Kedung, Tanahanila (Alas Sewu), sebelah timur Kedungwungu, Kedung Tambi,
Sudikampiran, Cangkingan, Kedokan Utara, Jempatan Petakan. Di Jempatan
Petakan inilah terdapat Sungai Longgagastina. Pangeran Suryanegara
mengerahkan rakyatnya untuk bekerja membuat Kali Longgagastina tersebut.
Pangeran Suryanegara mengutus Nyi Ayu Kelir dari daerah Kedokan supaya
bekerja bersama-sama denga utusan dari kerajaan lainnya. Utusan dari
Kedokan berjumlah 41 orang dipimpin oleh Ki Ratim. Utusan ini datang
menghadap Pangeran Suryanegara dengan maksud menghadiri pembuatan kali
tersebut, tapi sayang … kali yang dimaksud itu sudah selesai. Maka
Pangeran Suryanegara marah. Katanya, “Malas, tak mau mentaati perintah,
untuk apa datang kalau sungai Longgagastina sudah selesai.”
Karena kesalnya, akhirnya sang raja (Pangeran Suryanegara) mengeluarkan
kata-kata yang sangat kejam (menurut istilah Indramayu “nyumpatani”),
yaitu:
“Mulai saat ini kamu semua bukanlah manusia lagi, tetapi semuanya adalah
kunyuk (kera), dan sebagai tempat tinggalmu saya beri nama Ki Buyut
Banjar. Mulai saat inilah kamu menempati tempat ini. Kamu hanya dapat
makan dari orang yang mempunyai kaul (nadzar), atau dari orang-orang
yang lalu lalang di jalan itu. Kamu wajib meminta.”
Demikianlah kisah manusia menjadi kera, yang sampai sekarang kera itu
berjumlah 41 ekor, dipimpin oleh seekor sebagi ketuanya. Menurut cerita,
kera ketua itu adalah Ki Ratim sebagai pemimpin 41 orang dari desa
Kedokan. Dengan adanya kera-kera tersebut, sudah menjadi kebiasaan
masyarakat Indramayu setiap hari Lebaran mendatangi Ki Buyut Banjar ini.
Mereka datang karena masih terpengaruh oleh adat jaman dahulu yang
masih percaya akan ketakhyulan. Mereka beranggapan bahwa kera-kera itu
sama dengan kita, karena mereka pada mulanya adalah manusia, maka
berebutlah orang-orang datang membawa nasi dan makanan lainnya dengan
maksud untuk memberi makan kera-kera itu.
Sumber: Sejarah Indramayu dan Folklore Daerah Indramayu, hal: 311
http://alfaqihstory.blogspot.com/2012/01/asal-usul-desa-banjar-jatibarang.html
2.1.
1. Legenda
Desa (Sasakala)
Konon kabarnya pada abad ke 17
didaerah hutan Indramayu di bagian selatan mulai kedatangan para pendatang baru
yang memburu daerah-daerah subur yang berasal dari daerah Sumber Jatitujuh
kabupaten Majalengka, diantaranya bernama : Ki Rawan, Ki. Rasiyem, Ki. Nasta
dan beberapa orang pengikut lainnya. Mereka bermaksud akan bebedah (babad)
hutan untuk membuat pedukuhan dan bercocok tanam. Mereka mencari tempat yang
tanahnya baik dan subur, yang tidak jauh dari tempat air(sungai). Akhirnya
mereka mendekati pohon besar di hutan itu, ternyata pohon kesambi yang letaknya
tidak jauh dari sungai atau tempat-tempat air.
Setelah hutan sudah menjadi
perkampungan Ki. Rawan memberi nama Kampung Kesambian sungainya diberi nama
Kalensambi, penduduk kesambian rajin bekerja, senang bertapa, senang hidup
bergotong royong, dan bermusyawarah kalau ada sesuatu kesulitan dipikirkan
bersama.
Disekeliling Kampung Kesambian masih
merupakan hutan yang sangat angker. Hutan tersebut jarang sekali dijamah oleh
manusia dan banyak binatang buas dan syaitan yang jail yang sering mengganggu,
untuk menanggulangi hal tersebut Ki. Rawan menyampaikan kepada pengikutnya
bermaksud berguru menuntut ilmu kepada Ki. Arsitem di Cirebon Girang karena
masih ada hubungan family dengan orang tuanya. Akhirnya Ki. Arsitem mengutus
Ki. Jangkung supaya ikut Ki. Rawan Ke Kesambian, sebelum ketempat tujuan beliau
singgah di Bantarjati perlu mengajak Ki. Jatok, terus ke Jatitujuh menjemput
Ki. Marsidem yang terakhir singgah di sumber mengajak Ki. Arsidem, dari sumber
banyak para pengikut sebanyak 20 Kepala Keluarga.
Pada tahun itu waktu musim kemarau yang
sangat panjang dan jumlah penduduk semakin bertambah banyak baik dari kelahiran
maupun pendatang baru antara lain dari keluarga Ki. Arsiyah dari Karawang, Ki.
Ja’I dari Cilamaya dan Raden Suryaningrat dari Cirebon, sehingga penduduk
kesambian dipindahkan ke kampung Pasirangin dikarenakan masih banyak sumber air,
kemudian pindah lagi ke kalen tengah. Mulai saat itu Ki. Jangkung menempatkan
penduduk dengan dikelompok-kelompokan setiap tempat yang ada sumber airnya
(Kedung atau teluk sungai yang dalam ditunjuk seorang sesepuh yang bertugas
bertanggungjawab terhadap kelompoknya. Penempatan penduduk memanjang dari
selatan membujur ke utara.Kelompok Ki. Jatok kebagian di Tambak Suyem didekat
SD Cikedung 2, Kelompok Ki. Jangkung kebagian di Kedung Jati yang sekarang
Kramat Jati, Kelompok Ki. Arsidem di Teluk Sungai yang disebut Bojonglengkong,
Kelompok Ki. Rasiyan kebagian di Kalentangsi Kedung Asem, kalentengah menjadi
batas antara blok 1, 2, 3, 4,dan 5.
Pada suatu hari di pedukuhan yang baru
Ki. Jangkung mengumpulkan penduduk dengan maksud member nama desa yang baru dan
memperluas tanah garapan kea rah utara sampai ke kedung kucing. Pada masa itu
penduduk belum mempunyai bahasa nasional, ada penduduk yang berasal dari suku
Sunda, suku Jawa dan suku Melayu walaupun demikian menghasilkan suatu mufakat
desa yang baru diberi nama “Cai Kedung” yang artinya Cai dari bahasa Sunda yang
artinya Air, Kedung dari bahasa Jawa yang artinya tempat Telukan sungai yang dalam sehingga bias menampung
air dan arusnya berputar-putar di tempat tersebut, atau tempat sumber air
yang setiap insane memerlukan. Dalam
proses perkembangannya menjadi sebuah kampung yang dikenal Kampung Cikedung
yang sampai sekarang masih ada.
2. 2. Terbentuknya
Desa Cikedung
Catatan sejarah Desa Cikedung jika ditarik
kedalam peradaban kerajaan, kurang lebih pada masa Pemerintahan Raden Adipati Sawerdi
Wiralodra III Darma Ayu Nagari yang sekarang menjadi Indramayu yaitu pada awal
abad ke 17, Desa Cikedung yang berasal dari padukuhan Kesambian tak luput Dari
para pendatang baru yang memburu daerah-daerah subur. Munculah
kelompok-kelompok masyarakat di daerah tersebut, sehingga penduduk Cikedung
meningkat.
Pada tahun 1700
di masa itu telah terjadi perang yang terjadi di desa karang lawas ( desa Amis)
yang di sebut Perang Amis, dengan tidak berpikir panjang Ki. Marsidem, Ki.
Rawan dan Ki. Jatok mengajak mereka yang sedang bekerja di lading supaya
menyiapkan diri segera menuju ke Karang lawas.
Pasukan yang
dipimpin Ki. Marsidem di perjalanan mendapat serangan dari musuh secara
mendadak banyak korban dari pasukan Ki. Marsidem karena pasukan musuh mendapat bantuan dari
pasukan Kompeni Belanda. Jenajah Ki. Rawan dikebumikan di Kirapon, Sedangkan
Ki. Marsidem yang terluka di tandu pakai kayu Walikukun beristirahat di tepi
sungai Cibubul di bawah pohon Dadap Ki. Marsidem berpikir daripada tertangkap
oleh musuh lebih baik mengakhiri hidupnya dengan senjata Keris sendiri dan di
kubur di tempat itu yang sekarang bernama Kampung Cidadap yang artinya (Sumber
air dibawah pohon Dadap) Akhirnya sesepuh Kampung Kesambian member nama tempat
kejadian waktu mengadakan peperangan melawan musuh waktu mendengar suara orang
berperang di sawah maja di namakan Kubang Kawen (gugur), di perjalanan menuju
Karanglawas kampong yang di lalui di namakan Karang dawa karena saking
panjangnya, ketika keris Ki. Marsidem jatuh di bawa Ki. Jatok dinamakan
Kecepot, jadi nama-nama pada waktu kejadian perang Amis sampai sekarang masih
menjadi nama tempat yang ada di dalam desa Cikedung sampai sekarang.
Pada tahun
1885 desa Cikedung mulai dibuat jalan-jalan desa (belum pakai batu) untuk
memudahkan hubungan desa yang satu dengan desa yang lainnya.
Dengan meningkatnya hasil
pertanian desa Cikedung dianggap cara kerjanya cukup baik oleh Demang maka
didesa Cikedung dijadikan Onder Distrik (Kecamatan). Kantor dan perumahan Onder
Distrik didirikan di komplek kantor pemerintahan desa Cikedung yang sekarang
dipakai bangunan SD Cikedung 1
Pada tahun 1909 desa Cikedung
terkena bangunan jalan kereta Api jurusan Cirebon – Cikampek, pembangunan jalan
Raya dan saluran irigasi pengairan pun di bangun dari bendungan rentang yang
disebut irigasi Cipelang Barat dari desa rancajawat sampai ke kedokangabus.
Pada masa itu
di desa-desa diangkat beberapa orang pembantu pemungut cukai atau pajak yang
disebut Perintah Desa Kepala Perintah Desa pada waktu itu disebut Carik tau
Kuwu karena pada masa Demang kuwu kebanyakan hanya mengangkat dari pejabat carik atau Jurutulis,
sehingga masa jabatan para carik atau Kuwu tidak menentu. Waktu itu dengan
mengangkat Kuwu Cikedung sebagai kepala pemerintahan Desa dengan sebutan Kuwu
Tuding, yang berarti orang yang ditunjuk sebagai kuwu tersebut adalah seseorang
yang sakti dan berilmu tinggi dan mempuni dalam segala hal. Bila mana ada yang
menginginkan menjadi kuwu maka orang tersebut harus mengalahkan kuwu yang
sedang menjabat. Wilayah Desa Cikedung terangkum dalam wilayah Kecamatan Cikedung.
Batas wilayah Desa Cikedung meliputi Utara Desa Cikedunglor, sebelah Selatan Desa
Amis, sebelah barat Desa Karangasem, dan sebelah timur Desa Jambak.
Sumber-sumber
pendapatan desa diantaranya adalah Bengkok (Tanah carik) hasil dari tanah
titisan desa, tanah hasil kanomeran, tanah milik adat, hasil dari tanah Negara,
dan lumbung desa.
Kuwu Desa
Cikedung sekitar tahun 1700 Masehi adalah :
1.
Renggasih asal
kampung Cibereng
2.
Masdam asal kampung
Karangasem
3.
Warji asal kampung
Jambak
4.
Murdama (H. Dulkarim)
asal kampung Lunggadung
5.
Murkijan (Marsad)
asal kampung Lunggadung
6.
H. Sleman (Sinar)
asal kampung Lunggadung
7.
Mardi A (Talam B)
asal kampung Cikedung
8.
H. Sleman (Sinar)
asal kampung Lunggadung
9.
Surti ( Murkijan)
asal kampung Lunggadung
Kuwu Desa Cikedung
Pada Zaman penjajahan Belanda adalah :
10. Asmita
(Karsad) asal Munjul (1900 - 1933),
11. Waris
asal Cikedung
12. Damen
asal Cikedung,(Tidak dilantik)
13. Jojo
asal Tegal Jawa Tengah (1934 – 1936),(Mandor Jalan)
14. Sarwita
(Witul) asal Cikedung ,(1936 -1945)
Kuwu Desa Cikedung Pasca kemerdekaan adalah :
15. Murtala,
asal Cikedung (1945-1946),
16. Sungeb,
asal Cikedung (1946-1947),
17. Tamad
(Usman B), asal Cikedung (1947-1949),
18. Tunda,
asal Cikedung (1949-1950),
19. Sungeb,
asal Cikedung (1950-1952),
20. Darus,
asal Cikedung (1952-1953),
21. Sungeb,
asal Cikedung (1953-1964),
22. Wirya,
asal Cikedung (1964-1965),
23. Saryadi,
asal Cikedung (1965-1967) (Pejabat Sementara),
24. Carmun
Juru Tulis Naya asal Cikedung (1967-1972),
25. Watmo
Juru Tulis Naya asal Cikedung (1972-1974) (Pejabat sementara),
26. Rali
Juru Tulis Achyani asal Cikedung (1974-1982),
Kuwu Desa
Cikedung setelah Pemekaran Desa dibagi dua wilayah adalah :
27. D.
Sutana, asal Cikedung (1982-1985) (Pejabat sementara),
28. Warsidi
asal Cikedung ,(Tidak Dilantik)
29. Dasikin
Juru Tulis D. Sutana, asal Cikedung (1985-1990) (Pejabat Sementara),
30. Didi
Sujatmadi asal Cikedung (1990-1998)
Kuwu Desa Cikedung
setelah Orde Baru (Reformasi) adalah :
31. Achyani
(1998 – 2008), Jurutulis/Sekdes Dasikin/Subandi,
32. Suherman.
(Tahun 2008 – sekarang), Sekdes Subandi.
Kebudayaan
Masyarakat Cikedung yang ada sejak zaman dulu diantaranya ; Tradisi Ngaruat lembur atau sedekah Bumi, Tradisi
Ziarah, Tradisi Hajat Tujuh Bulan, dan lain-lain.
Cagar Budaya
yang ada diantaranya yaitu Makam buyut Kalen Sambi, Makam Buyut Kendel di Blok
III, Makam Buyut Siyah di Blok I, Makam Buyut Kramat Jati di Blok II, Makam
Buyut Walikukun di Blok IV, makam buyut Jatok serta makam-makam tokoh
masyarakat Cikedung lainnya.
Wilayah Desa Cikedung terangkum dalam wilayah
Kecamatan Cikedung. Pada tahun 1982 Desa
Cikedung dimekarkan menjadi Desa Cikedung dan Desa Cikedunglor, mengingat
jumlah penduduk dan luas wilayah geografis sudah cukup memenuhi persyaratan
untuk dapat dimekarkan yang wilayahnuya
cukup luas.
Sumber
http://cikedungindramayu.blogspot.com/2013/10/sejarah.html
Saturday, 10 November 2012
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU
Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya
Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan
bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan
Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati
memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan
pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin
dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan
istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah
Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui
atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar.
Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah
Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah
Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang
maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya
dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan
rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang
bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang
menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati.
Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan
nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi
yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan.
Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan
menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga
Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan
luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong
maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya
menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut
maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri
bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan
luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang
bernama Desa Tegalagung.
Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga.
Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka
sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan
pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih
banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu
Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk
beristirahat para pengikutnya.
Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan
pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di
wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh
10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon
tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang)
hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter,
belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam
binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut
yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang
berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan
dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut.
Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang
memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk
Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh.
Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu.
Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua
hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak
hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang
disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil
pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan.
Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah
rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka
dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem
dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif
Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru
di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut
menyaksikan daerah yang baru dibuka itu.
Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan
rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya
rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena
kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya
memenuhi undangan Sultan Mesir.
Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan
Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan
yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan
Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan
sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api).
Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar
untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka
dibangunlah 4 gubug besar.
1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk Ayah dan Pamannya
4. Untuk pengawal dan pengikutnya
Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang
telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka
berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya
menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh
arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan
Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain.
Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah
Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung
dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter
sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung
itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat).
Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas
(patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat
banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan
duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka
tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan
(batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya
berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi
batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi
dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi
(keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan
syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu =
Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-buahan yang
disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap
tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan
sedekah bumi setiap tahunnya.
Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang
pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus
Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya.
Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan
orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai
tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu
syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke
Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon,
keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa
dari bagelen dan juga dari Demak.
Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda
kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih
hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum
juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda
Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban
keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun
tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut.
Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan
berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib
agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih
rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka
keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air
longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan
sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan
menggunakan balok-balok kayu yang besar.
Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air
tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan
air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai
sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh
penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan
keperluan cocok tanam.
Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan
banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan
beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang
bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang
serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi
beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa
kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap
pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou
Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan
kesaktianya oleh Putra Campa tersebut.
Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah
terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas
Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan
datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh
beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan
sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk
mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya
tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan
Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang
akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER.
Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas
terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai
sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola
Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan
pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan
Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go
kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut
Petilasan Ki Jago.
Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh
kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari
sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap
pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain
daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau
penuh dengan pengikut- pengikutnya.
Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya
mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh
terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis
lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira
lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia
menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning
manuk"
(Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para
pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang
tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu
yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar,
berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan
sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung)
Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para
pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan
Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata.
Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan
menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan
membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau.
Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten)
sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan
kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan
kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari
keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling
Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga
sekarang.
Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan
pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain
untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER
BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang
berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara
NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih
tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang
disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang
untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di
sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam).
Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami
pemugaran/perbaikan sampai sekarang.
Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah
peninggalan nenek-moyang kita.
Copy and WIN :
http://bit.ly/copy_win
Saturday, 10 November 2012
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU
Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya
Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan
bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan
Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati
memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan
pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin
dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan
istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah
Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui
atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar.
Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah
Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah
Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang
maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya
dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan
rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang
bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang
menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati.
Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan
nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi
yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan.
Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan
menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga
Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan
luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong
maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya
menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut
maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri
bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan
luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang
bernama Desa Tegalagung.
Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga.
Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka
sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan
pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih
banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu
Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk
beristirahat para pengikutnya.
Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan
pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di
wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh
10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon
tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang)
hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter,
belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam
binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut
yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang
berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan
dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut.
Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang
memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk
Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh.
Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu.
Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua
hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak
hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang
disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil
pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan.
Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah
rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka
dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem
dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif
Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru
di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut
menyaksikan daerah yang baru dibuka itu.
Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan
rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya
rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena
kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya
memenuhi undangan Sultan Mesir.
Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan
Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan
yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan
Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan
sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api).
Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar
untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka
dibangunlah 4 gubug besar.
1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk Ayah dan Pamannya
4. Untuk pengawal dan pengikutnya
Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang
telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka
berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya
menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh
arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan
Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain.
Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah
Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung
dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter
sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung
itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat).
Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas
(patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat
banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan
duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka
tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan
(batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya
berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi
batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi
dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi
(keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan
syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu =
Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-buahan yang
disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap
tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan
sedekah bumi setiap tahunnya.
Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang
pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus
Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya.
Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan
orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai
tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu
syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke
Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon,
keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa
dari bagelen dan juga dari Demak.
Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda
kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih
hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum
juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda
Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban
keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun
tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut.
Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan
berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib
agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih
rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka
keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air
longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan
sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan
menggunakan balok-balok kayu yang besar.
Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air
tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan
air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai
sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh
penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan
keperluan cocok tanam.
Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan
banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan
beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang
bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang
serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi
beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa
kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap
pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou
Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan
kesaktianya oleh Putra Campa tersebut.
Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah
terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas
Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan
datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh
beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan
sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk
mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya
tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan
Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang
akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER.
Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas
terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai
sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola
Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan
pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan
Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go
kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut
Petilasan Ki Jago.
Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh
kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari
sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap
pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain
daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau
penuh dengan pengikut- pengikutnya.
Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya
mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh
terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis
lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira
lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia
menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning
manuk"
(Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para
pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang
tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu
yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar,
berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan
sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung)
Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para
pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan
Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata.
Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan
menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan
membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau.
Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten)
sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan
kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan
kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari
keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling
Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga
sekarang.
Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan
pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain
untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER
BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang
berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara
NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih
tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang
disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang
untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di
sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam).
Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami
pemugaran/perbaikan sampai sekarang.
Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah
peninggalan nenek-moyang kita.
Copy and WIN :
http://bit.ly/copy_win
Al kisah berangkat dari
cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan bisikan Ghoib,
yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan Lebak Sungsang
(Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran
Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan pamannya Tubagus
Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin dan para
pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan istrinya
Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah Hutan
Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui atas
keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar.
Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah
Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah
Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang
maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya
dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan
rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang
bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang
menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati.
Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan
nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi
yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan.
Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan
menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga
Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan
luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong
maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya
menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut
maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri
bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan
luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang
bernama Desa Tegalagung.
Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga.
Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka
sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan
pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih
banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu
Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk
beristirahat para pengikutnya.
Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan
pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di
wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh
10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon
tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang)
hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter,
belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam
binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut
yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang
berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan
dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut.
Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang
memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk
Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh.
Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu.
Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua
hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak
hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang
disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil
pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan.
Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah
rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka
dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem
dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif
Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru
di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut
menyaksikan daerah yang baru dibuka itu.
Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan
rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya
rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena
kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya
memenuhi undangan Sultan Mesir.
Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan
Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan
yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan
Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan
sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api).
Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar
untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka
dibangunlah 4 gubug besar.
1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk Ayah dan Pamannya
4. Untuk pengawal dan pengikutnya
Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang
telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka
berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya
menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh
arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan
Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain.
Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah
Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung
dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter
sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung
itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat).
Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas
(patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat
banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan
duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka
tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan
(batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya
berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi
batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi
dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi
(keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan
syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu =
Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-buahan yang
disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap
tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan
sedekah bumi setiap tahunnya.
Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang
pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus
Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya.
Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan
orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai
tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu
syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke
Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon,
keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa
dari bagelen dan juga dari Demak.
Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda
kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih
hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum
juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda
Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban
keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun
tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut.
Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan
berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib
agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih
rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka
keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air
longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan
sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan
menggunakan balok-balok kayu yang besar.
Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air
tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan
air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai
sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh
penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan
keperluan cocok tanam.
Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan
banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan
beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang
bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang
serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi
beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa
kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap
pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou
Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan
kesaktianya oleh Putra Campa tersebut.
Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah
terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas
Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan
datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh
beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan
sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk
mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya
tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan
Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang
akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER.
Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas
terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai
sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola
Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan
pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan
Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go
kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut
Petilasan Ki Jago.
Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh
kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari
sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap
pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain
daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau
penuh dengan pengikut- pengikutnya.
Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya
mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh
terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis
lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira
lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia
menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning
manuk"
(Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para
pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang
tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu
yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar,
berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan
sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung)
Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para
pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan
Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata.
Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan
menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan
membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau.
Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten)
sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan
kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan
kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari
keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling
Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga
sekarang.
Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan
pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain
untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER
BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang
berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara
NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih
tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang
disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang
untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di
sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam).
Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami
pemugaran/perbaikan sampai sekarang.
Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah
peninggalan nenek-moyang kita.
Posted by Rohman Imam Pradita
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Newer Post Older Post Home
Translate
Diberdayakan oleh Terjemahan
Total Pengunjung :
107238
Artikel Terbaru :
SEJARAH PSIKOLOGI
(09 Feb 2013)
(0 comments)
KUMPULAN FAKTA FAKTA SEPUTAR ISLAM
(09 Feb 2013)
(0 comments)
SEPUTAR HAID / MENS WANITA
(09 Feb 2013)
(0 comments)
MEMAKNAI POLITIK MENURUT ISLAM
(12 Feb 2013)
(0 comments)
Berapapun Donasi Anda Amat Berharga Bagi Yang Membutuhkan, Kirim Ke :
No Rek : 00465-01-50-002094-6
A/N : ANISA PRADINA SAFITRI
Sekilas Cirebon :
Copy and WIN :
http://bit.ly/copy_win
Al kisah berangkat dari
cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan bisikan Ghoib,
yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan Lebak Sungsang
(Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran
Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan pamannya Tubagus
Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin dan para
pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan istrinya
Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah Hutan
Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui atas
keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar.
Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah
Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah
Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang
maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya
dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan
rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang
bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang
menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati.
Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan
nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi
yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan.
Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan
menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga
Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan
luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong
maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya
menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut
maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri
bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan
luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang
bernama Desa Tegalagung.
Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga.
Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka
sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan
pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih
banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu
Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk
beristirahat para pengikutnya.
Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan
pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di
wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh
10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon
tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang)
hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter,
belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam
binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut
yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang
berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan
dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut.
Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang
memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk
Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh.
Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu.
Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua
hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak
hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang
disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil
pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan.
Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah
rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka
dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem
dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif
Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru
di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut
menyaksikan daerah yang baru dibuka itu.
Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan
rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya
rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena
kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya
memenuhi undangan Sultan Mesir.
Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan
Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan
yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan
Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan
sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api).
Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar
untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka
dibangunlah 4 gubug besar.
1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk Ayah dan Pamannya
4. Untuk pengawal dan pengikutnya
Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang
telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka
berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya
menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh
arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan
Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain.
Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah
Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung
dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter
sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung
itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat).
Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas
(patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat
banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan
duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka
tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan
(batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya
berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi
batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi
dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi
(keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan
syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu =
Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-buahan yang
disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap
tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan
sedekah bumi setiap tahunnya.
Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang
pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus
Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya.
Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan
orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai
tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu
syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke
Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon,
keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa
dari bagelen dan juga dari Demak.
Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda
kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih
hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum
juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda
Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban
keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun
tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut.
Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan
berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib
agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih
rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka
keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air
longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan
sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan
menggunakan balok-balok kayu yang besar.
Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air
tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan
air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai
sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh
penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan
keperluan cocok tanam.
Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan
banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan
beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang
bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang
serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi
beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa
kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap
pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou
Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan
kesaktianya oleh Putra Campa tersebut.
Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah
terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas
Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan
datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh
beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan
sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk
mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya
tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan
Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang
akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER.
Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas
terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai
sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola
Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan
pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan
Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go
kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut
Petilasan Ki Jago.
Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh
kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari
sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap
pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain
daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau
penuh dengan pengikut- pengikutnya.
Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya
mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh
terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis
lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira
lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia
menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning
manuk"
(Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para
pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang
tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu
yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar,
berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan
sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung)
Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para
pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan
Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata.
Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan
menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan
membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau.
Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten)
sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan
kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan
kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari
keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling
Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga
sekarang.
Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan
pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain
untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER
BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang
berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara
NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih
tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang
disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang
untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di
sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam).
Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami
pemugaran/perbaikan sampai sekarang.
Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah
peninggalan nenek-moyang kita.
Posted by Rohman Imam Pradita
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Newer Post Older Post Home
Translate
Diberdayakan oleh Terjemahan
Total Pengunjung :
107238
Artikel Terbaru :
SEJARAH PSIKOLOGI
(09 Feb 2013)
(0 comments)
KUMPULAN FAKTA FAKTA SEPUTAR ISLAM
(09 Feb 2013)
(0 comments)
SEPUTAR HAID / MENS WANITA
(09 Feb 2013)
(0 comments)
MEMAKNAI POLITIK MENURUT ISLAM
(12 Feb 2013)
(0 comments)
Berapapun Donasi Anda Amat Berharga Bagi Yang Membutuhkan, Kirim Ke :
No Rek : 00465-01-50-002094-6
A/N : ANISA PRADINA SAFITRI
Sekilas Cirebon :
Copy and WIN :
http://bit.ly/copy_win
Saturday, 10 November 2012
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU
Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya
Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan
bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan
Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati
memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan
pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin
dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan
istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah
Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui
atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar.
Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah
Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah
Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang
maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya
dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan
rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang
bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang
menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati.
Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan
nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi
yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan.
Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya
menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan
menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga
Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan
luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong
maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya
menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut
maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri
bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan
luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang
bernama Desa Tegalagung.
Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga.
Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka
sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan
pohon-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih
banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu
Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk
beristirahat para pengikutnya.
Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan
pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di
wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh
10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon
tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang)
hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter,
belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam
binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut
yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang
berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan
dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut.
Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang
memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk
Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh.
Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu.
Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua
hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak
hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang
disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil
pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan.
Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah
rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka
dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem
dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif
Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru
di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut
menyaksikan daerah yang baru dibuka itu.
Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan
rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya
rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten
merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena
kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya
memenuhi undangan Sultan Mesir.
Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan
Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan
yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan
Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan
sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api).
Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar
untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka
dibangunlah 4 gubug besar.
1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya
2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya
3. Untuk Ayah dan Pamannya
4. Untuk pengawal dan pengikutnya
Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang
telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka
berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya
menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh
arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan
Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain.
Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah
Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung
dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter
sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung
itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat).
Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas
(patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat
banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan
duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka
tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan
(batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya
berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi
batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi
dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi
(keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan
syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu =
Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-buahan yang
disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap
tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan
sedekah bumi setiap tahunnya.
Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang
pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus
Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya.
Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan
orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai
tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu
syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke
Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon,
keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa
dari bagelen dan juga dari Demak.
Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda
kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih
hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum
juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda
Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban
keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun
tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut.
Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan
berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib
agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih
rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka
keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air
longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan
sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan
menggunakan balok-balok kayu yang besar.
Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air
tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan
air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai
sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh
penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan
keperluan cocok tanam.
Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan
banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan
beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang
bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang
serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi
beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa
kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap
pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou
Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan
kesaktianya oleh Putra Campa tersebut.
Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah
terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas
Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan
datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi
Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh
beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan
sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk
mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya
tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan
Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang
akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER.
Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas
terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai
sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola
Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan
pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan
Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go
kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut
Petilasan Ki Jago.
Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh
kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari
sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap
pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain
daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau
penuh dengan pengikut- pengikutnya.
Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya
mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh
terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis
lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira
lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia
menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning
manuk"
(Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para
pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang
tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu
yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar,
berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan
sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung)
Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para
pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan
Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata.
Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan
menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan
membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau.
Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten)
sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan
kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan
kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari
keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling
Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga
sekarang.
Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan
pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain
untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER
BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang
berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara
NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih
tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang
disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang
untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di
sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam).
Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu
Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami
pemugaran/perbaikan sampai sekarang.
Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah
peninggalan nenek-moyang kita.
Copy and WIN :
http://bit.ly/copy_win