Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling (Andai banyak berdosa segera bertaubat). Menurut Supali Kasim (2003), dalam bukunya Tarling Migrasi Bunyi dari Gamelan Ke Gitar-Suling, mencatat asal tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada seorang komisaris Belanda yang meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan. Usai diperbaiki, sang komisaris Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan.
Hal itupun dilakukan oleh anak Mang Sakim yang bernama Sugra. Bahkan, Sugra kemudian membuat eksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Karenanya, tembang-tembang (kiser) Dermayonan dan Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi lebih indah dengan iringan petikan gitar. Keindahan itupun semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu.
Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya, seni musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu patromak (saat malam hari). Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat Balen, maupun Lair Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.
Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya.
Tak hanya Sugra, di Kabupaten Indramayu pun muncul sederet nama yang melambungkan tarling hingga ke berbagai pelosok daerah. Diantara mereka adalah Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah Kamsiyah, Hj Dariyah, dan Dadang darniyah. Dan tahun 1950-an di Kabupaten Cirebon muncul tokoh tarling bernama Uci Sanusi.
Kemudian pada dekade 1960-an muncul tokoh lain yang melambungkan jenis musik ini, yakni Abdul Adjib, dari Desa Buyut, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, dan Sunarto Martaatmadja, asal Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon. Lulut Casmaya dari Kabupaten Majalengka.
Perlu disoroti dalam hal ini, bahwa diantara seniman tarling ini mempunyai basic musik yang berbeda-beda. Jayana banyak dipengaruhi oleh musik gamelan. Uci Sanusi sebelumnya adalah seniman keroncong dan teater. Dan Abdul Adjib banyak dipengaruhi oleh orang tuanya yang mempunyai grup sandiwara. Dan Sunarto (kemudian lebih akrab dipanggil Kang Ato), Pepen Effendi dan Maman S. mengkombinasikannya dengan musik dangdut.
Tarling memang jenis kesenian grass root, tidak lahir dari keraton, musik ini tidak bersifat istana sentris yang memiliki pakem tersendiri atau ritme yang teratur seperti seni yang lahir dilingkungan dalem keraton. Musik ini mengalir seperti air dalam kehidupan masyakatnya. Oleh sebab itu, ia selalu berkembang mengiringi perubahan zaman. Syair-syair dalam tarling selalu menceritakan kisah sehari-hari yang sarat pesan moral, menggambarkan kehidupan masyarakat di pesisir pantura Jawa Barat. Nasehat, pegat-balen (Kawin Cerai), wayuan (Poligami), demenan (cinta), masalah rumah tangga, kebiasaan masyarakat (mabuk, maen, madon—minuman keras, judi, main perempuan), menjadi tema utama dalam lagu-lagu tarling.
Diawal perkembanganya syair tarling lebih mengadopsi pada kiser dermayonan dan cerbonan (sastra lisan semacam pantun). Seperti Jayana dalam kiser manunggal-nya yang masih bisa kita nikmati sampe sekarang. Menceritakan seorang Jayana tak luput dari cerita mengenai kemerduan suaranya, alkisah sewaktu ia tertangkap oleh tentara Belanda, segera ia dijembloskan ke penjara. Selama ia beberapa hari ia mendekam disana. Nasib baik berpihak padanya, kala tentara Belanda sedang bertengkar, mempermasalahkan masalah gitar. Jayana meminta gitar tersebut untuk dimainkannya. Dengan lihai dia petik, alunan melodi indah tarling dan suara khas Jayana menghipnotis tentara. Akhir cerita dia bisa melarikan diri.
Cerita Jayana dan mitosnya memang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Tapi, begitulah adanya cerita yang berkembang di masyarakat. Seniman asal Karangampel Indramayu ini, memang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memainkan gitar dan yang paling dielu-elukan adalah suaranya yang merdu, tinggi, dan ciri khas nada pesisiran.
Syair Nasehat banyak dipopulerkan oleh Hj. Dariyah dalam lagunya seperti, Manuk dara sepasang, Gambaran urip, Pedet nuntun sapi, Pikir-pikir dingin. Atau drama tarling Baridin yang dipopulerkan H. Abdul Adjib yang mengisahkan cerita cinta yang dibumbui mistis dengan pelet “jaran guyang*”, konon bisa membuat hati seseorang bisa tergila-gila. Juga tentang status sosial antara si kaya dan si miskin, diolah secara apik membuat penontonnya hanyut kedalam cerita penuh intrik dan kesedihan, dengan gilanya Suratminah sampe kematiannya gara-gara kemat jaran guyang Baridin yang ditolak cintanya, penolakan lamaran, serta penghinaanya karena ia orang miskin. Mengajarkan bagaimana kita seharusnya memposisikan makna cinta dalam posisinya sebagai cerita bahagia dan arti sesungguhnya—tiada paksaan dan penghinaan, serta juga penghargaan sesama insan.
Dalam dekade selanjutnya dimana musik dangdut dalam masa keemasannya, musik tarling pun tanpa terkecuali ikut terkontaminasi dangdut. Sebagaimana dijelaskan diatas, seniman tarling seperti Kang Ato, Maman, dan Pepen mengawinkanya dengan dangdut, pada saat itulah istilah tarling dangdut populer. Almarhum Yoyo Suwaryo (1955-2002), pada saat itu masih bergabung dengan Hj. Dariyah—tarling Cahaya Muda, mulai meramaikan jagat panggung tarling dangdut. Dimana nantinya ia merajai dunia tarling kala mendirikan Tarling Dharma Muda yang dipimpinnya. Membicarakan tarling kita tak bisa tanpa menghadirkan sosok yang satu ini. Salah satu seniman tarling yang paling produktif dalam menciptakan dan membawakan lagu-lagu tarling. Menurut salah satu mantan punggawanya, dalam satu tahun Tarling Dharma Muda bisa manggung lebih dari 200 panggungan. Walaupun Bukan yang pertama mengenalkan tarling dangdut, semua lagu-lagunya banyak menjadi inspirasi bagi seniman seangkatan dan sesudahnya. Lagunya begitu dilempar dipasaran langsung jadi hits semua. Pantas beliau dijadikan Raja Tarling, mencari seniman tarling sekaliber dia sangat susah dicari tandingannya. Meskipun tidak memiliki keterampilan bermain musik. Namun, insting musik beliau lah faktor utama, bagimana menciptakan musik yang berkelas?
Selepas kepergian almarhum, tarling dangdut mati suri, musik tarling menjelma menjadi organ tunggal sampai sekarang. Seniman seperti Ipang Supendi, Aas Rolani, Dewi Kirana, Nunung Alvi, Wadi Oon, Eddy Zacky, Wulan, Rendy Raundi, Dedi Yohana, menjadi mega bintang idola tarling seantero pantura Jawa Barat.
Tapi satu hal yang pasti, seni tarling saat ini meskipun telah hampir punah. Namun demikian, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura. Dikarenakan tarling adalah jiwa mereka, dengan ikut sawer keatas panggung atau sekedar melihatnya, serta mendengarnya seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.
Karya-karya tarling legendaris:
A. Drama
1. Baridin, karya Abdul Adjib
2. Saedah Saeni, karya Uci sanusi
3. Ajian Semar mesem
4. Kang Ato Ayame Ilang (Gandrung Kapilayu), karya Sunarto MA.
5. Sruet, tarling Cahaya Muda/H. T Ma’mun
B. Kiser Manunggal, karya Jayana.
C. Lagu-lagu hits
1. Warung Pojok, Hj. Uun
2. Kembang Boled, Cipt. Hj. Abdul Adjib
3. Nambang Dawa, Ini Damini
4. Manuk Dara Sepasang, Hj. Dariyah
5. Sulaya janji, Hj, Dariyah
6. Pemuda Idaman, Itih, S
7. Jawa Sunda, Yoyo Suwaryo
8. Mboke Bocah, Yoyo Suwaryo
9. Pengen Dikawin, Dewi Kirana
10. Sewulan Maning, Aas Rolani, dst.
Grup-grup Tarling:
a) Putra Sangkala, pimpinan H. Abdul Adjib
b) Nada Budaya, pimpinan Sunarto martaatmadja
c) Kamajaya Grup, pimpinan Udin Zaen
d) Primadona, pimpinan Pepen Effendi
e) Cahaya Muda, pimpinan H. Ma’mun/Hj.Dariyah
f) Bhayangkara Putra Buana
g) Chandra Lelana, pimpinan Maman Suparman
h) Jaya Lelana, pimpinan Jayana
i) Dharma Muda, pimpinan Yoyo Suwaryo
*Jaran Guyang : Ajian pengasihan untuk memelet seorang yang kita cintai
*Ranggon/jondol : semacem balai tempat santai/gazebo/pos ronda
Sumber : www.wiralodra.com
www.ethnic-unique.blogspot.com,
Republika Edt Saturday, 12 April 2008, “Tarling, Melodi Sarat Pesan Moral”
dan berbagai sumber
http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/30/tarling-dan-evolusinya/
0 komentar:
Posting Komentar