Selasa, 27 Januari 2015

Kisah Alun-alun Kejaksan

Alun-alun Kejaksan selalu saya lalui ketika saya masih bersekolah di SMP Negeri 1 Cirebon. Dari rumah saya, dengan berbagai alternatif jalan menuju ke SMP Negeri 1, pasti akan melewati jalan di depan Alun-alun Kejaksan.
Saat itu, pagar pembatas Alun-alun Kejaksan dengan trotoar jalan masih menggunakan pagar besi. Pagar itu kira-kira setinggi 50 cm dari trotoar jalan. Letak gerbangnya masih sama. Gerbang Alun-alun Kejaksan berpintu geser yang sudah tak bisa bergerak. Tapi saat itu tak ada yang terlihat sebagai gerbang utama.
alun-alun kejaksan
Gerbang utama Alun-alun Kejaksan di Jalan Siliwangi. Terlihat Masjid At-Taqwa di depan sana.
Rumah saya di kampung Kebon Panggung, Kelurahan Pekalangan (saat itu Kelurahan Pekalangan masuk dalam Kecamatan Cirebon Barat), Kecamatan Pekalipan (sekarang), Cirebon. Hampir setiap keluar kampung, saya selalu lewat Jalan Parujakan (atau Jalan Parajukan menurut Peta Google).
Hampir semua angkot (saat itu disebut Taksi Kota), yang melintas Jalan Parujakan (waktu itu searah ke utara) pasti akan berputar via Jalan Tentara Pelajar, menuju Terminal Gunung Sari (sekarang, berserta bekas stadion dan kolam renang Gunung Sari, telah menjadi Grage Mall), lalu ke arah Jalan RA Kartini, dan melewati Mesjid At-Taqwa dan Alun-alun Kejaksan.
Ruas Jalan Siliwangi pada penggalan di depan SMP Negeri 1 Cirebon tidak dilalui angkot. Maka, dengan alternatif angkot apapun yang saya naiki, saya pasti turun di halte Alun-alun Kejaksan. Kemudian saya harus berjalan kaki ke SMP Negeri 1 Cirebon.
Halte-Alun-alun-Kejaksan
Halte Alun-alun Kejaksan di Jalan RA Kartini. Saat malam pun masih ada becak yang mangkal.
Jika saya sedang ingin berjalan kaki dari rumah ke sekolah SMP Negeri 1 Cirebon, dari Jalan Parujakan ke arah utara, setelah bertemu perempatan (atau lebih mirip perlimaan) ada dua alternatif rute. Rute pertama lurus ke utara melalui Jalan KS Tubun. Setelah bertemu Jalan RA Kartini, belok ke arah timur. Dari sini, menyusuri bagian depan Masjid At-Taqwa, dan kembali melintasi Alun-alun Kejaksan.
Rute kedua, serong timur laut menyusuri Jalan Kali Sukalila. Setelah bertemu Jalan Siliwangi, belok ke utara lewat depan Pasar Pagi (sekarang menjadi Pusat Grosir Cirebon atau PGC). Berjalan terus ke utara melewati perempatan tempat Alun-alun Kejaksan berada. Di perempatan ini terdapat Tugu Proklamasi, atau kami lebih sering menyebutnya pensil karena saat itu tak tahu namanya.
Saat masih SMP itu, saya sempat bertanya kepada nenek (yang saya panggil Emak), “Kenapa disebut Alun-alun Kejaksan?”
Kata Emak, “Karena terletak di kampungnya Pangeran Kejaksan.”
Nama kampung dan daerah sekitar situ itu terpengaruh oleh tempat kediaman Pangeran Kejaksan. Tempat orang-orang bertanya tentang berbagai permasalahan dan yang menyangkut secara hukum Islam. Akhirnya tempat Pangeran Kejaksan menjadi Tajug Agung Pangeran Kejaksan. Tajug ini masih berdiri di tengah kampung.
Pangeran Kejaksan (atau Syarifuddin) adalah nama yang diberikan oleh Syekh Dzatul Kahfi (atau Syekh Datuk Kahfi). Versi lain mengatakan yang memberi nama itu adalah Syekh Nurjati (atau Syekh Nurul Jati). Versi yang lebih moderat, mengatakan Syekh Dzatul Kahfi dan Syekh Nurjati adalah orang yang sama.
Nama asli Pangeran Kejaksan adalah Abdurrahim. Ada pula yang menyebutnya Sayid Abdurrahim atau Syarif Abdurrahim.
Syarif Abdurrahim datang dan menemui Syekh Dzatul Kahfi beserta saudara-saudaranya Syarif Abdurrahman dan Syarif Abdillah (versi lain menambahkan nama Syarifah Baghdad). Mereka adalah anak-anak Sultan Chuffi (Kesultanan Baghdad – Persia) yang datang untuk belajar agama Islam dan membantu Syekh Dzatul Kahfi.
Syarif Abdurrahim kemudian menekuni bidang Hukum Islam, karenanya dikenal dengan nama Syarifuddin atau Pangeran Kejaksan. “Ke” adalah sebutan untuk orang yang bijaksana (mungkin mirip Ki atau Kiyai), sedangkan Jaksan berarti hukum atau keadilan.
Sekali waktu saya bertanya kepada Arbai Kusuma (yang biasa saya panggil Mang Ba’i) tetangga saya yang masih keturunan Ki Gede Pekiringan, “Kapan Alun-alun Kejaksan dibangun?”
Mang Ba’i menjawab,”Alun-alun Kejaksan ga pernah dibangun. Itu luas tanah yang tersisa sewaktu mbangun Tajug Agung.”
Saya tersenyum, mungkin pertanyaan saya yang salah, tapi mungkin juga demikian kejadiannya.
Alun-alun Kejaksan berdampingan dengan Masjid At-Taqwa. Masjid ini dulu bernama Tajug Agung (bukan Tajug Agung Pangeran Kejaksan). Saat Tajug Agung dibangun (tahun 1918), tersisa tanah yang menjadi Alun-alun dan dipertahankan keberadaannya hingga sekarang, itulah Alun-alun Kejaksan. Masjid ini resmi bernama Masjid At-Taqwa pada tahun 1963.
Alun-alun Kejaksan
Terlihat Masjid At-Taqwa di sisi barat. Ada pintu masuk pada pagar pembatas antara Masjid At-Taqwa dengan Alun-alun Kejaksan. Kendaraan bermotor bisa masuk ke Alun-alun Kejaksan melalui gerbang masuk Masjid At-Taqwa. Sering kali Alun-alun Kejaksan menjadi area parkir mobil, saat ada acara di Masjid At-Taqwa.
Pada sudut Alun-alun Kejaksan di perempatan antara Jalan RA Kartini dan Jalan Siliwangi, berdiri Tugu Proklamasi. Tugu yang sama pada berdiri di depan Kepolisian Sektor Waled, Cirebon.
Tersebut nama dr. Soedarsono, seorang dokter kader aktivis dalam Koperasi Rakyat Indonesia (KRI) yang berafiliasi dengan PNI Pendidikan pimpinan Hatta-Syahrir. Dialah yang mengumandangkan proklamasi negara Indonesia. Pembacaan pertama dilakukan di Alun-alun Kejaksan, kemudian dibacakan ulang di Waled.
Jika diibaratkan pakem pada cerita wayang, kisah sejarah ini saling tumpang tindih versi carangannya. Namun yang pasti, teks proklamasi ini berbeda dengan teks proklamasi yang dibacakan Ir Soekarno di Jakarta. Dan tanggal dibacakannya, adalah 15 Agustus 1945 (2 hari lebih awal). Saat dibacakan, dihadiri oleh sekira 150 pemuda dari berbagai gerakan bawah tanah.
Di mana gerangan teks proklamasi versi Alun-alun Kejaksan itu kini berada? Entah. Hanya Tugu Proklamasi itu yang menjadi bukti.
Versi lain (yang minoritas) mengatakan, bahwa Tugu Proklamasi dibangun sebagai peringatan atas pertempuran besar dari arah rel kereta stasiun Kejaksan. Saat itu ribuan pejuang revolusi naik kereta api dari Stasiun Jatinegara menuju Yogyakarta. Sebagian besar turun di Stasiun Kejaksan untuk menyergap tentara Belanda yang membonceng bersama sekutu.
Pertempuran ini bergeser ke arah Alun-alun Kejaksan. Bukti pertempuran masih terlihat pada kantor Pikiran Rakyat edisi Cirebon, Jalan RA Kartini nomor 7, ketika baru pindah dari Jalan Siliwangi nomor 77 tahun 1982. Sebagian besar tembok dan pintu kayu jati berlobang bekas terjangan peluru.
Alun-alun Kejaksan
Sudut tenggara Alun-alun Kejaksan berbentuk lengkung. Terlihat Tugu Proklamasi (atau pensil) di seberang sana.
Di sebelah utara Alun-alun Kejaksan terdapat reruntuhan gedung Grand Hotel. Pada 12-14 Februari 1946, Grand Hotel masih bernama Hotel Leebrinck. Saat itu menjadi basis kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia) pimpinan Mr Yusuf. Dan telah dikepung sekitar 50-an pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang semula terkonsentrasi di Alun-alun Kejaksan.
Penyergapan, merangsek masuk, saat pagi hari, berjalan lancar dan nyaris tanpa perlawanan. Di hotel itu ditemukan sejumlah senjata. Senjata-senjata itu sepertinya belum sempat digunakan kelompok PKI untuk memberikan perlawanan. Kejadian ini pun sepertinya luput dari rincian sejarah.
Alun-alun Kejaksan
Di sisi utara, seberang gang yang tembus ke Jalan Tanda Barat, terdapat reruntuhan bekas gedung Grand Hotel.
Pada Jalan RA Kartini yang melintas di depan gerbang Masjid At-Taqwa dan Alun-alun Kejaksan, dulunya adalah rel kereta api. Rel ini menghubungkan Stasiun Kejaksan dengan Pelabuhan Cirebon. Kemudian akses rel itu dipindah memotong Jalan KS Tubun.
Saat saya masih di TK Perwari (daerah Pamitran, di belakang Pasar Pagi, atau Pusat Grosir Cirebon sekarang), saya masih ingat bahwa rel-rel ini masih difungsikan. Saat saya sudah di SMP Negeri 1 Cirebon (berseberangan dengan Grand Hotel), rel-rel ini sepertinya sudah tak terpakai lagi.
Sekarang, rel-rel yang membelah tengah-tengah kampung ini sudah ditumbuhi bangunan (warung, balai kampung, poskamling, dan lain-lain) atau menjadi gang.
Gerbang Alun-alun Kejaksan
Gerbang Alun-alun Kejaksan yang menghadap Jalan RA Kartini, berseberangan dengan gapura Rumah Jabatan Bupati Cirebon. Berdekatan dengan Halte Alun-alun Kejaksan.
Awal November 2012 lalu, diadakan Pesta Rakyat perayaan HUT Cirebon ke 643 (berdiri sejak 1 Muharam 849 Hijrah). Digelar selama 2 pekan, puncaknya tanggal 15 November (1 Muharam, bertepatan dengan tahun baru Islam). Menurut rencana, Pesta Rakyat perayaan HUT Cirebon di Alun-alun Kejaksan ini akan menjadi tradisi tahunan.
Pasar rakyat di Alun-alun Kejaksan kerap hadir juga pada bulan Ramadhan. Entah sejak kapan “pasar kaget ngabuburit” ini hadir tiap Ramadhan. Sifatnya spontanitas, inisiatif dari para PKL (Pedagang Kaki Lima) sendiri. Meskipun menurut Pemda setempat (Walikota Cirebon) ada larangan, namun “pasar kaget ngabuburit” ini tetap ada. Bahkan para PKL mengaku membayar semacam iuran kepada aparat.
Gerbang Alun-alun Kejaksan
Suasana di depan gerbang utama Alun-alun Kejaksan, dipenuhi PKL (pedagang kaki lima) yang menjajakan sajian malam. PKL ini makin tahun makin bertambah jumlahnya. Kini sudah mencapai depan SMP Negeri 1 Cirebon.
Kebetulan saya sedang membawa anak dan istri jalan-jalan di siang hari. Belum terlalu sore, saya bawa istri dan anak saya mampir ke Alun-alun Kejaksan. Untunglah saya sudah berbekal kamera saku. Saya ambil gambar dari beberapa sudut. Ya, sebatas foto dokumentasi, karena saya tak paham fotografi. Saya berniat untuk mengambil gambar lagi pada malam hari. Tapi karena ada masalah pada kartu memori kamera, maka baru keesokan malam saya dapat mengambil gambar lagi.
Alun-alun Kejaksan
Menjelang sore, banyak warga sekitar yang melakukan aktivitas olah raga di Alun-alun Kejaksan. Tak beda jauh dengan suasana pagi hari (kecuali hari minggu, Alun-alun Kejaksan ini dipenuhi PKL spontanitas). Selamat berkunjung.

Alun-alun Kejaksan

Sudut antara Jalan RA Kartini dan Jalan Siliwangi (lihat Peta).
http://www.thearoengbinangproject.com/kisah-alun-alun-kejaksan-cirebon/

GUNA-GUNA TANAH KUBURAN PANGURAGAN


Tanah kuburan Panguragan yang terletak di Desa Panguragan, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, memang sudah lama tersohor di seantoro Jawa Barat (Jabar) dapat menjadi media ilmu gaib. Banyak kalangan dukun aliran sesat menggunakan tanah kuburan Panguragan sebagai media guna-guna untuk menghancurkan usaha seseorang. Benarkah…?

Guna-guna tanah kuburan Panguragan terkenal ganas serta sangat jarang ada pengusaha yang sanggup bertahan. Setiap pengusaha yang tempat usahanya ditanami tanah kuburan Panguragan dalam waktu singkat dijamin bangkrut. Bukan hanya bangkrut, bahkan pengusaha bersangkutan dililit hutang dalam jumlah besar hingga menjual bangunan tempat usahanya.
Sejumlah pakar kebathinan di Kota Cirebon yang sempat dimintai komentarnya seputar keganasan guna-guna tanah kuburan Panguragan, rata-rata mereka mengaku sudah mendengar kabar tersebut sejak lama, bahkan mulai kakek-buyutnya. Dengan demikian, tanah kuburan Panguragan termasuk guna-guna cukup tua di Tatar Jawa Barat. Karena ganasnya guna-guna tanah kuburan Panguragan, tidak aneh jika jadi momok menakutkan bagi kalangan pengusaha, terutama pedagang.
Ki Anomjati Sanggabumi, seorang supranaturalis muda cukup tersohor di Kota Cirebon, sewaktu dihubungi Penulis di Villa Kecapi Mas, Kelurahan Harjamukti, Kota Cirebon membenarkan kabar seputar penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan untuk media guna-guna penghancur usaha.

“Penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan jelas menyalahi syariat Islam, sehingga dukun dan pihak yang menyuruhnya sangat berdosa secara habluminallah maupun hablumminanas dan sebaiknya hindari cara-cara sesat semacam itu,” kata Ki Anomjati Sanggabumi.
Ken Nagasi, seorang budayawan sekaligus pemerhati dunia gaib cukup terkenal di Kabupaten Cirebon mengaku prihatin atas praktik kotor semacam itu. Sewaktu dihubungi di Sanggar Budaya “Nyi Mas Gandasari” yang berlokasi di sekitar Stadion Bima, pria tampan warga Desa/Kecamatan Sindanglaut, Kabupaten Cirebon ini kerap mengurut dada tiap kali dia mendengar keluhan para mantan pengusaha kenalannya yang bangkrut akibat praktik dukun sesat menggunakan media tanah kuburan Panguragan.
“Astaghfirullah, kenapa mesti menyengsarakan orang lain demi kepuasan diri sendiri? Kenapa tidak bersaing secara sehat melalui pemantapan manajemen?” Seal Ken Nagasi.
Ibarat pepatah, tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Jika diibaratkan penyakit, guna-guna tanah kuburan Panguragan ternyata punya tandingan. Jika belum gulung tikar, kondisi tempat usaha atau perusahaan yang ditanami tanah kuburan Panguragan dapat dinetralisir dengan ditaburi pada keempat sudut bangunan itu menggunakan pasir kali Bayalangu.
H. Sator, seorang pakar supranaturalis terkenal di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, mengaku sudah sering menolong pengusaha yang terkena guna-guna tanah kuburan Panguragan. Melalui media pasir kali Bayalangu yang sudah dirituali, secara alamiah dapat menetralisir pengaruh negatif tanah kuburan Panguragan. Kecuali ada penanaman ulang dari pihak yang melakukannya, maka mesti dilakukan penaburan ulang pasir kali Bayalangu.
“Tanah kuburan itu pun tidak bisa asal ambil oleh sembarang orang, melainkan hanya bisa diaktifkan aura negatifnya oleh orang yang ahli di bidang itu. Begitu pula pasir kali Bayalangu, dan secara kebetulan saya mewarisi ritual pasir kali Bayalangu dari ayah saya,” terang H. Sator.
Konon, dampak yang ditimbulkan bagi korban guna-guna tanah kuburan Panguragan bukan hanya mengalami kebangkrutan usaha, namun sepanjang malam mendapatkan teror gaib sangat mengerikan. Salah satunya seperti dialami Udi bin Ujang, warga Kelurahan Karangmalang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jabar. Dia bukan saja kehilangan kios kue kering miliknya di “Pasar Baru” Tanjungpura karena dijual dan menanggung hutang sekitar 20 jutaan namun, namun dia kini mesti mengais rezeki di Arab Saudi sebagai driver.
Berikut ini adalah kisah nyata yang dituturkan oleh Udin bin Ujang kepada Penulis.…
Sejak Jumat Kliwon hingga Sabtu Legi (18 – 19 Januari 2008), Ujang duduk termenung di teras gedung pertemuan kompleks “Kinasih” di Jalan Tapos, Kecamatan Cimanggis, Kabupaten Depok. Saat itu dia bersama tiga rekannya masing-masing Toto, Sutejo dan Hendi mengantar Drs. Khairuddin yang tengah mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Presdir PT. Guswara Intertaint, Agus Winarko,MSc.
Pria yang usianya beranjak senja dan berbadan subur itu memisahkan diri dari hiruk-pikuk ratusan orang pengantar para peserta Rakernas. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu tampak kuyu seakan menyimpan duka nestapa teramat berat.
Ujang duduk di atas tikar di bawah rindangnya pohon beringin hingga memasuki dinihari. Pemandangan semacam itu, tentu saja sangat kontras dan sangat tak lazim. Kepada Misteri, dia seperti berupaya memuntahkan kegalauan hatinya seputar perjalanan usaha putra sulungnya yang kini bangkrut dan gulung tikar.
Padahal, sejak “Pasar Lama” yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Lemah Abang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu itu terbakar pada Selasa (11 Juli 1995) pukul 09.00 WIB dan para pedagang direlokasi ke pasar baru yang terletak di Jalan Tanjungpura, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, secara bertahap kios kue kering milik Udi, anaknya, mengalami kemajuan. Setidaknya hingga 2005 silam, kios kue itu sangat populer dan setiap harinya selalu dijejali pembeli.
Menyaksikan kemajuan usaha Udi, sejumlah kios yang semula menjual dagangan lain diganti menjadi kios kue kering. Akibatnya, persaingan pun semakin ketat sehingga calon pembeli kue kering tersebar ke berbagai kios yang ada di Pasar Baru. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, jumlah pembeli ke kios Udi terus berkurang. Tetapi, bagi Udi hal itu dianggap sesuatu yang lumrah sesuai dengan hukum pasar.
Sekitar awal 2006, naluri Udi menangkap ada hal yang tidak wajar, terutama setelah mendapatkan kiosnya benar-benar sepi. Bayangkan, omzet dalam sehari hanya cukup buat menutupi kebutuhan dapur keluarga.
Tragisnya, puluhan orang pelanggan kabur sambil membawa utang dalam jumlah besar. Hal ini membuat Udi kalang kabut mencari dana pinjaman buat menambal modal yang berkurang akibat ulah para pelanggan yang nakal itu.
“Bukan itu saja, pada bulan ke tiga 2006, Udi anak saya dan keluarganya merasakan suatu gangguan gaib yang menciptakan rasa takut,” kisah Ujang dengan pandangan menerawang jauh.
Masih dalam bulan yang sama, sejumlah pedagang skoteng, bakso dan lainnya yang biasa mangkal malam hari di sekitar Pasar Baru Tanjungpura sempat menggunjingkan peristiwa gaib di sekitar kios kue milik Udi. Mereka kerap menyaksikan sosok pocong alias mayat hidup berkeliaran di teras kios kue milik Udi.
Gunjingan itupun akhirnya masuk ke telinga Udi. Untuk membuktikannya, pada dinihari sekitar pukul satuan, seorang diri Udi menyelinap ke lorong (los) Pasar Baru Tanjungpura yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Karena sudah dinihari, suasana pasar sangat sepi. Kalau pun ada aktivitas hanya di sisi jalan alternatif penghubung Polsekta dengan Markas Polres Indramayu, dimana terdapat warung nasi yang buka 24 jam.
Malam itu, berselang dua kios dalam posisi berseberangan, Udi mengambil tempat pengintaian yang dirasa aman. Untuk bersembunyi, dia duduk di balik tumpukan bekas kotak gula yang sudah kosong.
Berkat losion anti nyamuk, dia terbebas dari serangan serangan haus darah itu. Lewat bantuan cahaya dari sudut kios, diliriknya jarum jam tangan, saat itu sudah menunjuk pukul 1.15 menit. Sepasang matanya menatap lurus ke arah kiosnya yang sengaja tidak diberi penerangan sehingga suasana temaram sisa lampu dari kios lain di sebelahnya.
Dia meragukan gunjingan para pedagang ketika merasakan pantatnya mulai penat akibat terlalu lama duduk di atas lembaran kardus bekas. Ketika terlintas niat untuk pulang, detak jantung Udi mendadak terpacu. Pandangannya lebih dipertajam. Ternyata benar, samar-samar dia menyaksikan sosok mayat terbungkus kafan muncul dari balik tumpukan kardus bekas snack yang disimpan di teras kios.
Pocong itu bergerak lembut dan makin lama makin jelas setelah terkena sisa cahaya lampu dari kios sebelah. Rasa takut pun mulai merasuk ketika pocong itu terlihat gelisah. Kepala pocong menoleh ke berbagai arah diikuti gerakan tubuhnya. Udi yakin, keberadaannya sudah diketahui mahluk alam gaib itu, sehingga sepasang sandal jepit pelan-pelan dia lepas.
Nalurinya memang tepat. Pocong itu melompat-lompat tertuju ke tumpukan bekas kotak gula di mana Udi bersembunyi. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter lagi, sekuat tenaga Udi melompat dari balik tumpukan bekas kotak gula lantas lari menjauhi arah datangnya pocong.
Udi lari secepat yang dia mampu menuju ke arah warung nasi. Tanpa perduli terhadap tiga tukang becak yang duduk santai di bangku kayu, Udi menerobos memasuki warung dan disambut pekikan kaget pelayan yang tengah terkantuk-kantuk.
Keesokan paginya, peristiwa itu dia ceritakan kepada istrinya lalu kepada ayahnya. Ujang yang awam soal mahluk gaib, hanya memberi saran supaya anaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak wirid.
Dari kios kue, teror itupun berpindah ke rumah Udi. Nyaris tiap malam, isteri dan dua anaknya diteror suara-suara aneh dari serambi rumah bahkan terkadang disertai bau busuk menerobos melalui celah daun jendela.
Atas desakan isteri dan anak-anaknya, Udi minta izin kepada ayahnya untuk numpang tidur sambil mencari jalan keluar. Ujang tidak bisa menolak permintaan putranya, sehingga merelakan kamar depan yang bersisian dengan ruang tamu ditempati Udi bersama keluarganya. Sedangkan siang harinya, Udi membawa keluarganya kembali ke rumahnya yang hanya beda gang dengan rumah orangtuanya itu.
Malam Selasa Kliwon bulan ke enam 2006, Ujang gelisah di tempat tidurnya. Udara awal musim kemarau membuat gerah tak tertahankan. Untuk mendapatkan udara segar, Ujang membuka daun pintu depan lalu duduk santai di kursi ruang tamu. Saat jarum jam menunjuk pada angka 2 dinihari, muncul Udi dari ruang kholwat (tempat solat) yang bersatu dengan kamar dapur.
Udi saat itu masih mengenakan sarung, peci dan baju koko serta tangan kanan masih memutar tasbih. Keringat membasahi kening. Rupanya Udi pun tak tahan kegerahan di ruang kholwat, sehingga memilih melanjutkan wiridnya di ruang tamu.
Angin malam lumayan sejuk menerobos memasuki celah daun pintu yang terbuka seperempat bagian. Di atas kursi busa yang mulai usang, Ujang menyandarkan punggung dan meletakkan tengkuknya.
Aroma kantuk mulai merasuk. Sambil terkantuk-kantuk, Ujang mengamati bagian ujung pintu pagar besi halaman rumah lewat celah daun pintu. Sedangkan di sampingnya, Udi masih melanjutkan bacaan wiridnya.
Dirasa tubuhnya mulai segar serta aroma kantuk mulai tak tertahankan, Ujang bermaksud menutup daun pintu dan akan membanting punggung di atas kasur melanjutkan tidur. Belum sempat mengangkat pantat, lewat celah daun pintu dia melihat ujung pintu pagar besi bergerak diiringi deritan lembut. Entah datang dari mana, ruang tamu dalam sekejap sudah dipenuhi bau busuk sangat ganjil.
Bau busuk semakin menyengat. Belum sempat menduga-duga siapa orang yang akan bertamu, daun pintu ditabrak dari luar hingga membentur tembok menimbulkan suara gaduh. Suara benturan daun pintu dengan tembok kontan mengejutkan Ujang dan Udi. Yang lebih mengejutkan, di ambang pintu sudah berdiri sesosok mayat hidup alias pocong.
Lewat cahaya lampu neon ruang tamu yang terang benderang, Ujang menyaksikan kafan yang masih lengkap dengan ikatannya itu sangat kusam penuh lumpur hitam. Kulit wajah mahluk itu tidak utuh lagi. Sangat rusak, penuh borok-borok serta belatung bergerak lembut pada sepasang rongga matanya. Dari lubang mulut dan hidungnya meluncur lenguhan seperti sedang menahan marah.
Mahluk itu bukan menatap Ujang melainkan menghadap lurus ke arah Udi. Diiringi lenguhan keras, mahluk itu menerjang ke arah Udi. Ujang tak mampu berbuat banyak selain berjuang mempertahankan kesadarannya supaya tidak pingsan.
Diserang mahluk seseram itu, secara refleks, sekuat tenaga Udi menjejakkan sepasang kakinya ke atas lantai. Akibatnya, kursi yang dia duduki terbalik dan tubuh Udi terjengkang ke belakang lantas jatuh terduduk. Udi hanya mampu membuka mulut, tapi lafadz ayat Qursy sama sekali tidak pernah mau keluar. Yang meluncur dari kerongkongannya hanya suara menyerupai orang gagu.
Air hangat sangat deras mengucur dari balik kain sarung. Akibatnya dia berkubang pada genangan air kencingnya sendiri. Sama halnya ayahnya, Udi pun hanya berjuang agar jangan sampai pingsan. Dia yakin, mahluk itu bukan semata menakut-nakuti melainkan mengancam jiwanya.
Saat jaraknya tersisa beberapa senti lagi, Udi ingat kalau tasbih di genggamannya itu pemberian dari seorang ustadz. Dia berharap benda itu bukan semata alat penghitung wirid. Tanpa berharap banyak, tangan kanan yang semula menyanggah tubuhnya yang jatuh terduduk dia angkat tinggi-tinggi menyongsong terjangan pocong sambil merapatkan kelopak mata.
Dia sudah benar-benar pasrah. Benaknya berkata, mungkin hanya dalam hitungan detik, lehernya akan digigit mahluk itu sehingga urat nadinya putus lalu mati. Tapi hingga belasan detik berlalu, tak ada sesuatu yang menyentuh lehernya. Ditunggu beberapa menit berikutnya tak ada serangan mematikan dari mahluk berwujud pocong itu. Udi menjerit ketika lengannya dibetot sangat keras. Ketika membuka mata, ayahnya tengah berjuang mengangkat tubuhnya.
“Pocong tadi terpental saat menyentuh tasbih di genggamanmu! Ayo. bangun!” Kata Ujang, setengah membentak.
Udi langsung bangkit dan melompat menuju ambang pintu. Tergopoh-gopoh daun pintu dibanting hingga tertutup rapat sekaligus menguncinya. Anak beranak itupun hanya mampu berpandangan. Udi baru sadar kalau sarungnya basah kuyup setelah diberitahu ayahnya, maka buru-buru dia ke kamar mandi.
Keesokan harinya, dengan diantar ayahnya, Udi menyambangi seorang ulama di Lohbener. Ujang menyerahkan sisa tanah bekas pocong yang tercecer di atas lantai ruang tamu. H. Abbas, sang ulama, menggenggam sisa tanah hitam itu sambil memejamkan mata dan bibir komat-kamit. Mendadak keningnya berkerut tajam lalu membuka kelopak matanya.
“Astaghfirullah, mahluk itu khodam guna-guna tanah kuburan Panguragan. Untung kalian tidak sampai pingsan… jika sampai pingsan, naudzubillah, hanya Allah yang tahu terhadap batas umur mahlukNya,” terang H. Abbas.
Sesaat berikutnya, H. Abbas minta izin masuk ke kamar kholwat. Belasan menit kemudian muncul lagi dengan wajah penuh keringat. Dengan suara serak, H. Abbas menyarankan agar kios kue itu secepatnya dijual. Menurut mata bathinnya, kios itu sudah ditanami tanah kuburan Panguragan sejak enam bulan lalu. Tapi, ulama khos itu tidak bersedia menyebutkan identitas orang yang telah mengguna-gunai kios Udi.
Atas saran H. Abbas, sebulan kemudian kios itu dijual murah kepada pemilik kios di sebelahnya. Uang hasil menjual kios itu digunakan oleh Udi untuk mengurangi utangnya. Dalam keadaan tak punya modal sesenpun, Udi terpaksa ikut kerja jadi kuli bangunan hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan dapur, dan sejak awal 2007, Udi terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bagian driver http://kisahmistis.blogspot.com/2008/12/guna-guna-tanah-kuburan-panguragan.html

Istana Karang di Cirebon Bisa Tembus ke Mekah dan Cina

Istana Karang di Cirebon Bisa Tembus ke Mekah dan Cina
Istana karang di Cirebon bisa tembus ke Mekah dan Cina fotoErikaKoran Sindo
ADA sejuta cerita dari situs sejarah Taman Air Gua Sunyaragi, di Kelurahan Sunyaragi, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon. Bangunan terunik se-Asia Tenggara ini, diyakini memiliki pintu yang konon bisa langsung menembus ke Mekah dan Cina.

Bangunan yang terbuat dari karang laut itu, konon dibuat secara bertahap, sejak abad ke-16 dan abad ke-17. Susunan batu-batu karang pernah sekali diperbaiki tahun 1987, dan sempat membuat para peneliti yang terlibat kebingungan.

“Mereka sempat kesulitan mencari bahan penggantinya, sampai harus mencari ke Laut Selatan. Meski berlokasi di Cirebon yang dekat dengan Laut Jawa, perairan di sini tak memiliki terumbu-terumbu karang sebagai bahan bangunan," kata Juru Pelihara Taman Air Gua Sunyaragi Puja Juhaedi, saat ditemui wartawan, Rabu (14/8/2014).

Pencarian dan penggunaan batu karang yang kemudian diambil dari Laut Selatan ini dinilai sebagai hal yang mencengangkan. Tidak diketahui secara pasti bagaimana sistem pengangkutan batu-batu karang itu dilakukan.

Namun menurut Puja, pengambilan batu-batu karang itu menggunakan tenaga gaib. Menurut masyarakat sekitar, kata Sunyaragi diambil dari dua kata terpisah, yaitu sunya yang berarti sunyi, dan ragi yang berarti raga.

Situs bersejarah ini dikelilingi danau. Sesuai dengan fungsinya, Taman Air Gua Sunyaragi dibangun sebagai tempat menyepi (bertapa) keluarga dan keturunan Kesultanan Cirebon. Untuk itu wajar jika bangunan ini terasa sangat angker.

"Luas bangunan 1,5 hektar, terdiri dari Taman Air Gua Sunyaragi yang memiliki sepuluh gua, masing-masing Gua Pengawal, Pande Kemasan, Simanyang, Peteng, Langse, Arga Jumut, Padang Ati, Klangenan, Lawa, dan Gua Pawon," terangnya.

Selain kesepuluh gua yang telah disebutkan, terdapat pula bangunan utama lain, berupa Bangsal Jinem yang menjadi bagian depan Taman Air Sunyaragi, serta Mande Beling.

"Ada bangunan tambahan juga, yakni keputran/keputren. Tempat ini juga menjadi tempat bermain putra dan putri raja. Mereka biasa bermain di Balai Kambang, dan Panggung Budaya,” tambah Puja.

Dia melanjutkan, bangunan pertama yang di situs ini adalah Gua Peteng dan sekitarnya. Kemudian disusul Gua Pande Kemasan yang ada patung garuda terlilit ular. Selanjutnya adalah bangunan area Gua Arga Jumut dan sekitarnya.

Tentang pintu yang konon bisa menembus ke Mekah dan Cina, berada pada dua celah yang didirikan dari susunan batu bata merah yang disebut pintu kembar. Untuk kebenaran cerita rakyat itu, dikembalikan kepada kepercayaan masing-masing.

"Ini merupakan dua pintu yang dipercaya sebagai jalan tembus menuju negara lain dan hanya bisa digunakan para sultan dan keturunannya. Pintu arah barat menuju Mekah, sedangkan pintu arah timur menuju Cina,” bebernya.

Dijelaskan, pintu yang menuju Mekah menggambarkan kultur Cirebon sebagai kawasan Islam. Sementara pintu yang menuju Cina, merujuk pada Putri Ong Tien, yakni salah satu putri Kaisar Cina yang jadi salah satu istri Sunan Gunung Jati.

"Pada masa kolonialisme Belanda, Arga Jumut pernah menjadi korban bom yang dijatuhkan pasukan penjajah. Tak jauh dari lokasi aslinya, terdapat reruntuhan atap Arga Jumut, serta bangunan di sisi barat yang terpisah dari bangunan utama," ungkapnya.

Selain pintu kembar, di Taman Air Gua Sunyaragi terdapat pohon leci berusia 350 tahun. Pohon itu merupakan hadiah Putri Ong Tien. Pohon ini tak pernah berbuah. “Katanya harus dikawinkan dengan pohon leci lain, karena ini aslinya sepasang,” jelasnya.


(san)
http://daerah.sindonews.com/read/891003/29/istana-karang-di-cirebon-bisa-tembus-ke-mekah-dan-cina-1407961756

Sejarah Singkat Gua Sunyaragi Cirebon

Kota Cirebon yang terkenal dengan sebutan kota wali merupakan kota yang syarat akan peninggalan sejarah. Salah satu peninggalan yang terdapat di kota Cirebon adalah Gua Sunyaragi yaitu bangunan yang mirip dengan candi. Selain disebut dengan nama Gua Sunyaragi, peninggalan tersebut sering disebut Taman Air Sunyaragi atau Taman Sari Sunyaragi. Nama "Sunyaragi" sendiri berasal dari kata "sunya" yang artinya sepi, dan kata "ragi" yang artinya raga, keduanya adalah bahasa sangsekerta. Gua Sunyaragi berlokasi di Kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Kota Cirebon, atau tepatnya di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono.
Gua Sunyaragi di bangun di atas lahan dengan luas sekitar 15 hektar. Konstruksi dan komposisi bangunan ini merupakan taman air. Oleh karena itu Gua Sunyaragi disebut juga Taman Air Sunyaragi. Pada zaman dahulu kompleks Gua tersebut di kelilingi oleh sebuah danau, yaitu danau Jati. Lokasi dimana dahulu terdapat danau Jati saat ini sudah mengering dan dilalui oleh jalan by pass Brigjen Dharsono, sungai Situngkul, lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Sunyaragi milik PLN, persawahan dan sebagiannya lagi menjadi pemukiman penduduk. Selain itu, di  kompleks Gua tersebut terdapat banyak air terjun buatan sebagai penghias, dan hiasan taman seperti patung Gajah, patung Wanita Perawan Sunti, serta patung Garuda dan Ular. Gua Sunyaragi merupakan salah satu bagian dari Keraton Pakungwati, yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Kompleks Gua Sunyaragi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu pesanggrahan dan bangunan gua. Bagian pesanggrahan dilengkapi dengan serambi, ruang tidur, kamar mandi, kamar rias, ruang ibadah dan dikelilingi oleh taman lengkap dengan kolam. Bangunan gua-gua berbentuk gunung-gunungan, dilengkapi terowongan penghubung bawah tanah dan saluran air. Bagian luar komplek bermotif batu karang dan awan. Pintu gerbang luar berbentuk candi bentar dan pintu dalamnya berbentuk paduraksa.
Tujuan utama dibangunnya Gua Sunyaragi adalah sebagai tempat untuk beristirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya.
Dalam sejarah pembangunannya, terdapat dua buah versi, yang pertama adalah berita lisan tentang sejarah berdirinya gua Sunyaragi yang disampaikan secara turun-temurun oleh para bangsawan Cirebon atau keturunan keratin, versi tersebut lebih dikenal dengan sebutan versi Carub Kanda. Versi yang kedua adalah versi Caruban Nagari, yaitu versi yang di dasarkan pada buku “Purwaka Caruban Nagari” yang di tulis tangan oleh Pangeran Kararangen pada tahun 1720 M. Namun sejarah berdirinya gua Sunyaragi versi Caruban Nagari berdasarkan sumber tertulislah yang digunakan sebagai acuan para pemandu wisata gua Sunyaragi yaitu tahun 1703 M untuk menerangkan tentang sejarah Gua Sunyaragi, karena sumber tertulis ini lebih memiliki bukti yang kuat daripada sumber-sumber lisan. Kompleks Sunyaragi dilahirkan lewat proses yang teramat panjang. Tempat ini beberapa kali mengalami perombakan dan perbaikan. 

Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen (Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon). Namun menurut Caruban Kandha dan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan, Tamansari dibangun karena Pesanggrahan ”Giri Nur Sapta Rengga” berubah fungsi menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana Gunung Jati. Terutama dihubungkan dengan perluasan Keraton Pakungwati (sekarang Keraton Kasepuhan) yang terjadi pada tahun 1529 M, dengan pembangunan tembok keliling keraton, Siti Inggil dan lain-lain. Sebagai data perbandingan, Siti Inggil dibangun dengan ditandai candra sengkala ”Benteng Tinataan Bata” yang menunjuk angka tahun 1529 M. Di Tamansari Gua Sunyaragi ada sebuah taman Candrasengkala yang disebut ”Taman Bujengin Obahing Bumi” yang menunjuk angka tahun 1529. Di kedua tempat itu juga terdapat persamaan, yakni terdapat gapura ”Candi Bentar” yang sama besar bentuk dan penggarapannya. Sedangkan Pangeran Kararangen hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Mande Kemasan saja.
Dilihat dari gaya atau corak dan motif-motif  yang muncul serta pola-pola bangunan yang beraneka ragam dapat disimpulkan bahwa gaya arsitektur Gua Sunyaragi merupakan hasil dari perpaduan antara gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Cina atau Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.

Gaya Indonesia klasik atau Hindu dapat terlihat pada beberapa bangunan berbentuk joglo. Misalnya, pada bangunan Bale Kambang, Mande Beling dan gedung Pesanggrahan, bentuk gapura dan beberapa buah patung seperti patung gajah dan patung manusia berkepala garuda yang dililit oleh ular. Seluruh ornamen bangunan yang ada menunjukkan adanya suatu sinkretisme budaya yang kuat yang berasal dari berbagai dunia. Namun, umumnya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Indonesia Klasik atau Hindu.


Gaya Cina terlihat pada ukiran bunga seperti bentuk bunga matahari dan bunga teratai. Di beberapa tempat, dulu Gua Sunyaragi dihiasi berbagai ornamen keramik Cina di bagian luarnya. Keramik-keramik itu sudah lama hilang atau rusak sehingga tidak diketahui coraknya yang pasti. Penempatan keramik-keramik pada bangunan Mande Beling serta motif mega mendung seperti pada kompleks bangunan gua Arga Jumut memperlihatkan bahwa gua Sunyaragi mendapatkan pengaruh gaya arsitektur Cina. Selain itu ada pula kuburan Cina, kuburan tersebut bukanlah kuburan dari seseorang keturunan Cina melainkan merupakan sejenis monumen yang berfungsi sebagai tempat berdoa para keturunan pengiring-pengiring dan pengawal-pengawal putri Cina yang bernama Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding yang merupakan istri dari Sunan Gunung Jati.
Sebagai peninggalan keraton yang dipimpin oleh Sultan yang beragama Islam, Gua Sunyaragi dilengkapi pula oleh pola-pola arsitektur bergaya Islam atau Timur Tengah. Misalnya, relung-relung pada dinding beberapa bangunan, tanda-tanda kiblat pada tiap-tiap pasalatan atau musholla, adanya beberapa pawudlon atau tempat wudhu serta bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Hal tersebut menjelaskan bahwa gaya arsitektur Gua Sunyaragi juga mendapat pengaruh dari Timur Tengah atau Islam.
Gua Sunyaragi didirikan pada zaman penjajahan Belanda sehingga gaya arsitektur Belanda atau Eropa turut memengaruhi gaya arsitektur gua Sunyaragi. Tanda tersebut dapat terlihat pada bentuk jendela yang tedapat pada bangunan Kaputren, bentuk tangga berputar pada gua Arga Jumut dan bentuk gedung Pesanggrahan.

Secara visual, bangunan-bangunan di kompleks Gua Sunyaragi lebih banyak memunculkan kesan sakral. Kesan sakral dapat terlihat dengan adanya tempat bertapa seperti pada gua Padang Ati dan gua Kelangenan, tempat salat dan pawudon atau tempat untuk mengambil air wudhu, lorong yang menuju ke Arab dan Cina yang terletak di dalam kompleks gua Arga Jumut; dan lorong yang menuju ke Gunung Jati pada kompleks gua Peteng. Di depan pintu masuk gua Peteng terdapat patung Perawan Sunti. Menurut legenda masyarakat lokal, jika seorang gadis memegang patung tersebut maka ia akan susah untuk mendapatkan jodoh. Kesan sakral nampak pula pada bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Selain itu ada pula patung Haji Balela yang menyerupai patung Dewa Wisnu.

Pada tahun 1997 pengelolaan gua Sunyaragi diserahkan oleh pemerintah kepada pihak Keraton Kasepuhan. Hal tersebut sangat berdampak pada kondisi fisik gua Sunyaragi. Kurangnya biaya pemeliharaan menyebabkan lokasi wisata Gua Sunyaragi lama kelamaan makin terbengkelai.
Walaupun berubah-ubah fungsinya menurut kehendak penguasa pada zamannya, secara garis besar Gua Sunyaragi adalah tempat para pembesar keraton dan para prajurit-prajuritnya bertapa, untuk meningkatkan ilmu kanuragan. Bagian-bagiannya terdiri dari 12 antara lain :
1. Bangsal jinem
Bangsal Jinem adalah tempat di mana pada masa lalu Sultan Kasepuhan memberikan wejangan-wejangan kepada para pengikutnya. Di tempat ini pula prajurit-prajurit keraton Kasepuhan berlatih ilmu kanuragan yang di awasi langsung oleh Sultan sendiri.
2. Goa pengawal
Goa Pengawal seperti juga namanya adalah tempat yang khusus diperuntukan bagi para Pengawal Sultan beristirahat. Di tempat inilah para Pengawal sultan di masa lalu berkumpul dan sekaligus bersiaga bilamana suatu-waktu Sultan yang mereka kawal mendapat ancaman.
3. Kompleks Mande Kemasan
Komplek Mande Kemasan yang sekarang telah hancur ini pada masa lalu berfungsi sebagai tempat disimpannya berbagai senjata keraton
4. Gua Pandekemasang

Gua Pandekemasang adalah sebuah tempat yang dikhususkan untuk membuat berbagai jenis senjata untuk keperluan berperang melawan musuh-musuh keraton. Di tempat ini para empu dan petinggi keraton sering berkumpul untuk merencanakan senjata apa saja yang harus di buat demi mempertahankan keraton dari ancaman luar. Karena pentingnya wilayah ini pada masa lalu tempat membuat senjata tajam ini selalu mendapat penjagaan ketat dari para pengawal keraton.
5. Gua Simanyang
Gua Simanyang adalah sebuah gua yang berada di depan wilayah taman air Sunyaragi mengingat fungsinya sebagai pos penjagaan dan garda depan dari ancaman dunia luar.
6. Gua Langse

Gua Lengse adalah sebuah tempat yang khusus diperuntukan kepada Raja dan permaisurinya bersantai. Karena tempat ini hanya diperuntukan untuk raja dan permaisurinya maka tempat inilah satu-satunya tempat yang dibuat dengan begitu indah agar raja ketika memasuki tempat ini bisa merasa sangat nyaman dan melupakan sejenak kepenatannya memerintah
7. Gua Peteng
Seperti namanya Gua Peteng yang berarti Gua Gelap, di tempat ini tidak disediakan sama sekali penerangan dan memang difungsikan sebagai tempat nyepi untuk mendapatkan kekebalan tubuh dan sebagainya.
8. Gua Arga Jumud

  
Gua Arga Jumud fungsinya mirip dengan Gua Langse, hanya bedanya untuk Gua Arga Jumud ini dikhususkan bagi para petinggi keraton baik ketika bersantai maupun ketika mengadakan rapat-rapa penting dalam hal menyangkut keraton
9. Gua Padang Ati
Gua Padang Ati adalah sebuah gua yang berfungsi untuk mersemedi agar memiliki kelapangan dada, keikhlasan dan kecerdasan seperti yang dimaksud oleh nama gua itu sendiri yaitu padang ati yang artinya terang hati.
10. Gua Kelanggengan

Gua Kelanggengan adalah sebuah tempat bersemedi agar mendapat kelanggengan jabatan.
11. Gua Lawa
Gua Lawa adalah tempat khusus kelelawar. Selain sebagai tempat khusus kelelawar, kami belum mendapat informasi mengenai kegunaan lain dari gua ini. Mungkin ada diantara pembaca yang mengetahuinya?
12. Gua Pawon

Seperti namanya yang dalam bahasa Cirebon berarti dapur maka gua ini adalah sebuah dapur untuk membuat dan menyimpan makanan.
sumber : www.wikipedia.com
http://one-indonesia.blogspot.com/2012/11/sejarah-singkat-gua-sunyaragi-cirebon_11.html

SEJARAH NAMA DESA DI INDRAMAYU

ASAL USUL DESA BANJAR (JATIBARANG) 

Banjar adalah nama tempat di daerah Bulak Kecamatan Jatibarang Kab. Indramayu. Bajnar dikenal dengan nama Ki Buyut Banjar. Sampai sekarang terkenal dengan keranya. Berdasarkan cerita orang tua, asal usulnya adalah sebagai berikut.

Pada jaman dahulu ada lima kerajaan yang berkuasa di sini, yaitu:
1.    Pagusten Pangeran Suryanegara (dari Cirebon)
2.    Pangeran Mangkunegara (adik Pangeran Suryanegara), yang bertempat tinggal di desa Sleman.
3.    Pangeran Kartanegara, bertempat tinggal di kampong Karangkendal.
4.    Pangeran Martanegara, bertempat tinggal di gunung Jati.
5.    Pangeran Patmanegara, bertempat tinggal di Wanacala (sebelah Timur Cirebon).

Diantara kelima Pangeran itu, Pangeran Suryanegaralah yang paling berkuasa dan yang paling mempunyai kesaktian. Daerah yang dikuasainya yaitu: sebelah barat Bulak, Kedungwarak Bungkak, Kesambi Jamprah, Kedung, Tanahanila (Alas Sewu), sebelah timur Kedungwungu, Kedung Tambi, Sudikampiran, Cangkingan, Kedokan Utara, Jempatan Petakan. Di Jempatan Petakan inilah terdapat Sungai Longgagastina. Pangeran Suryanegara mengerahkan rakyatnya untuk bekerja membuat Kali Longgagastina tersebut. Pangeran Suryanegara mengutus Nyi Ayu Kelir dari daerah Kedokan supaya bekerja bersama-sama denga utusan dari kerajaan lainnya. Utusan dari Kedokan berjumlah 41 orang dipimpin oleh Ki Ratim. Utusan ini datang menghadap Pangeran Suryanegara dengan maksud menghadiri pembuatan kali tersebut, tapi sayang … kali yang dimaksud itu sudah selesai. Maka Pangeran Suryanegara marah. Katanya, “Malas, tak mau mentaati perintah, untuk apa datang kalau sungai Longgagastina sudah selesai.”

Karena kesalnya, akhirnya sang raja (Pangeran Suryanegara) mengeluarkan kata-kata yang sangat kejam (menurut istilah Indramayu “nyumpatani”), yaitu:
“Mulai saat ini kamu semua bukanlah manusia lagi, tetapi semuanya adalah kunyuk (kera), dan sebagai tempat tinggalmu saya beri nama Ki Buyut Banjar. Mulai saat inilah kamu menempati tempat ini. Kamu hanya dapat makan dari orang yang mempunyai kaul (nadzar), atau dari orang-orang yang lalu lalang di jalan itu. Kamu wajib meminta.”

Demikianlah kisah manusia menjadi kera, yang sampai sekarang kera itu berjumlah 41 ekor, dipimpin oleh seekor sebagi ketuanya. Menurut cerita, kera ketua itu adalah Ki Ratim sebagai pemimpin 41 orang dari desa Kedokan. Dengan adanya kera-kera tersebut, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indramayu setiap hari Lebaran mendatangi Ki Buyut Banjar ini. Mereka datang karena masih terpengaruh oleh adat jaman dahulu yang masih percaya akan ketakhyulan. Mereka beranggapan bahwa kera-kera itu sama dengan kita, karena mereka pada mulanya adalah manusia, maka berebutlah orang-orang datang membawa nasi dan makanan lainnya dengan maksud untuk memberi makan kera-kera itu.

Sumber: Sejarah Indramayu dan Folklore Daerah Indramayu, hal:  311


http://alfaqihstory.blogspot.com/2012/01/asal-usul-desa-banjar-jatibarang.html 


SEJARAH DESA CIKEDUNG



2.1.  1. Legenda Desa (Sasakala)
Konon kabarnya pada abad ke 17 didaerah hutan Indramayu di bagian selatan mulai kedatangan para pendatang baru yang memburu daerah-daerah subur yang berasal dari daerah Sumber Jatitujuh kabupaten Majalengka, diantaranya bernama : Ki Rawan, Ki. Rasiyem, Ki. Nasta dan beberapa orang pengikut lainnya. Mereka bermaksud akan bebedah (babad) hutan untuk membuat pedukuhan dan bercocok tanam. Mereka mencari tempat yang tanahnya baik dan subur, yang tidak jauh dari tempat air(sungai). Akhirnya mereka mendekati pohon besar di hutan itu, ternyata pohon kesambi yang letaknya tidak jauh dari sungai atau tempat-tempat air.  
Setelah hutan sudah menjadi perkampungan Ki. Rawan memberi nama Kampung Kesambian sungainya diberi nama Kalensambi, penduduk kesambian rajin bekerja, senang bertapa, senang hidup bergotong royong, dan bermusyawarah kalau ada sesuatu kesulitan dipikirkan bersama.
Disekeliling Kampung Kesambian masih merupakan hutan yang sangat angker. Hutan tersebut jarang sekali dijamah oleh manusia dan banyak binatang buas dan syaitan yang jail yang sering mengganggu, untuk menanggulangi hal tersebut Ki. Rawan menyampaikan kepada pengikutnya bermaksud berguru menuntut ilmu kepada Ki. Arsitem di Cirebon Girang karena masih ada hubungan family dengan orang tuanya. Akhirnya Ki. Arsitem mengutus Ki. Jangkung supaya ikut Ki. Rawan Ke Kesambian, sebelum ketempat tujuan beliau singgah di Bantarjati perlu mengajak Ki. Jatok, terus ke Jatitujuh menjemput Ki. Marsidem yang terakhir singgah di sumber mengajak Ki. Arsidem, dari sumber banyak para pengikut sebanyak 20 Kepala Keluarga.
Pada tahun itu waktu musim kemarau yang sangat panjang dan jumlah penduduk semakin bertambah banyak baik dari kelahiran maupun pendatang baru antara lain dari keluarga Ki. Arsiyah dari Karawang, Ki. Ja’I dari Cilamaya dan Raden Suryaningrat dari Cirebon, sehingga penduduk kesambian dipindahkan ke kampung Pasirangin dikarenakan masih banyak sumber air, kemudian pindah lagi ke kalen tengah. Mulai saat itu Ki. Jangkung menempatkan penduduk dengan dikelompok-kelompokan setiap tempat yang ada sumber airnya (Kedung atau teluk sungai yang dalam ditunjuk seorang sesepuh yang bertugas bertanggungjawab terhadap kelompoknya. Penempatan penduduk memanjang dari selatan membujur ke utara.Kelompok Ki. Jatok kebagian di Tambak Suyem didekat SD Cikedung 2, Kelompok Ki. Jangkung kebagian di Kedung Jati yang sekarang Kramat Jati, Kelompok Ki. Arsidem di Teluk Sungai yang disebut Bojonglengkong, Kelompok Ki. Rasiyan kebagian di Kalentangsi Kedung Asem, kalentengah menjadi batas antara blok 1, 2, 3, 4,dan 5.
Pada suatu hari di pedukuhan yang baru Ki. Jangkung mengumpulkan penduduk dengan maksud member nama desa yang baru dan memperluas tanah garapan kea rah utara sampai ke kedung kucing. Pada masa itu penduduk belum mempunyai bahasa nasional, ada penduduk yang berasal dari suku Sunda, suku Jawa dan suku Melayu walaupun demikian menghasilkan suatu mufakat desa yang baru diberi nama “Cai Kedung” yang artinya Cai dari bahasa Sunda yang artinya Air, Kedung dari bahasa Jawa yang artinya tempat Telukan sungai yang dalam sehingga bias menampung air dan arusnya berputar-putar di tempat tersebut, atau tempat sumber air yang setiap insane memerlukan. Dalam proses perkembangannya menjadi sebuah kampung yang dikenal Kampung Cikedung yang sampai sekarang masih ada.
 2.   2. Terbentuknya Desa Cikedung
Catatan sejarah Desa Cikedung jika ditarik kedalam peradaban kerajaan, kurang lebih pada masa Pemerintahan Raden Adipati Sawerdi Wiralodra III Darma Ayu Nagari yang sekarang menjadi Indramayu yaitu pada awal abad ke 17, Desa Cikedung yang berasal dari padukuhan Kesambian tak luput Dari para pendatang baru yang memburu daerah-daerah subur. Munculah kelompok-kelompok masyarakat di daerah tersebut, sehingga penduduk Cikedung meningkat.
Pada tahun 1700 di masa itu telah terjadi perang yang terjadi di desa karang lawas ( desa Amis) yang di sebut Perang Amis, dengan tidak berpikir panjang Ki. Marsidem, Ki. Rawan dan Ki. Jatok mengajak mereka yang sedang bekerja di lading supaya menyiapkan diri segera menuju ke Karang lawas.
Pasukan yang dipimpin Ki. Marsidem di perjalanan mendapat serangan dari musuh secara mendadak banyak korban dari pasukan Ki. Marsidem  karena pasukan musuh mendapat bantuan dari pasukan Kompeni Belanda. Jenajah Ki. Rawan dikebumikan di Kirapon, Sedangkan Ki. Marsidem yang terluka di tandu pakai kayu Walikukun beristirahat di tepi sungai Cibubul di bawah pohon Dadap Ki. Marsidem berpikir daripada tertangkap oleh musuh lebih baik mengakhiri hidupnya dengan senjata Keris sendiri dan di kubur di tempat itu yang sekarang bernama Kampung Cidadap yang artinya (Sumber air dibawah pohon Dadap) Akhirnya sesepuh Kampung Kesambian member nama tempat kejadian waktu mengadakan peperangan melawan musuh waktu mendengar suara orang berperang di sawah maja di namakan Kubang Kawen (gugur), di perjalanan menuju Karanglawas kampong yang di lalui di namakan Karang dawa karena saking panjangnya, ketika keris Ki. Marsidem jatuh di bawa Ki. Jatok dinamakan Kecepot, jadi nama-nama pada waktu kejadian perang Amis sampai sekarang masih menjadi nama tempat yang ada di dalam desa Cikedung sampai sekarang.
Pada tahun 1885 desa Cikedung mulai dibuat jalan-jalan desa (belum pakai batu) untuk memudahkan hubungan desa yang satu dengan desa yang lainnya.
Dengan meningkatnya hasil pertanian desa Cikedung dianggap cara kerjanya cukup baik oleh Demang maka didesa Cikedung dijadikan Onder Distrik (Kecamatan). Kantor dan perumahan Onder Distrik didirikan di komplek kantor pemerintahan desa Cikedung yang sekarang dipakai bangunan SD Cikedung 1
Pada tahun 1909 desa Cikedung terkena bangunan jalan kereta Api jurusan Cirebon – Cikampek, pembangunan jalan Raya dan saluran irigasi pengairan pun di bangun dari bendungan rentang yang disebut irigasi Cipelang Barat dari desa rancajawat sampai ke kedokangabus.
Pada masa itu di desa-desa diangkat beberapa orang pembantu pemungut cukai atau pajak yang disebut Perintah Desa Kepala Perintah Desa pada waktu itu disebut Carik tau Kuwu karena pada masa Demang kuwu kebanyakan  hanya mengangkat dari pejabat carik atau Jurutulis, sehingga masa jabatan para carik atau Kuwu tidak menentu. Waktu itu dengan mengangkat Kuwu Cikedung sebagai kepala pemerintahan Desa dengan sebutan Kuwu Tuding, yang berarti orang yang ditunjuk sebagai kuwu tersebut adalah seseorang yang sakti dan berilmu tinggi dan mempuni dalam segala hal. Bila mana ada yang menginginkan menjadi kuwu maka orang tersebut harus mengalahkan kuwu yang sedang menjabat. Wilayah Desa Cikedung terangkum dalam wilayah Kecamatan Cikedung. Batas wilayah Desa Cikedung meliputi Utara Desa Cikedunglor, sebelah Selatan Desa Amis, sebelah barat Desa Karangasem, dan sebelah timur Desa Jambak.
Sumber-sumber pendapatan desa diantaranya adalah Bengkok (Tanah carik) hasil dari tanah titisan desa, tanah hasil kanomeran, tanah milik adat, hasil dari tanah Negara, dan lumbung desa.
Kuwu Desa Cikedung sekitar tahun 1700 Masehi adalah :
1.    Renggasih asal kampung Cibereng
2.    Masdam asal kampung Karangasem
3.    Warji asal kampung Jambak
4.    Murdama (H. Dulkarim) asal kampung Lunggadung
5.    Murkijan (Marsad) asal kampung Lunggadung
6.    H. Sleman (Sinar) asal kampung Lunggadung
7.    Mardi A (Talam B) asal kampung Cikedung
8.    H. Sleman (Sinar) asal kampung Lunggadung
9.    Surti ( Murkijan) asal kampung Lunggadung
Kuwu Desa Cikedung Pada Zaman penjajahan Belanda adalah :
10. Asmita (Karsad) asal Munjul (1900 - 1933),
11. Waris asal Cikedung
12. Damen asal Cikedung,(Tidak dilantik)
13. Jojo asal Tegal Jawa Tengah (1934 – 1936),(Mandor Jalan)
14. Sarwita (Witul) asal Cikedung ,(1936 -1945)
 Kuwu Desa Cikedung Pasca kemerdekaan adalah :
15. Murtala, asal Cikedung (1945-1946),
16. Sungeb, asal Cikedung (1946-1947),
17. Tamad (Usman B), asal Cikedung (1947-1949),
18. Tunda, asal Cikedung (1949-1950),
19. Sungeb, asal Cikedung (1950-1952),
20. Darus, asal Cikedung (1952-1953),
21. Sungeb, asal Cikedung (1953-1964),
22. Wirya, asal Cikedung (1964-1965),
23. Saryadi, asal Cikedung (1965-1967) (Pejabat Sementara),
24. Carmun Juru Tulis Naya asal Cikedung (1967-1972),
25. Watmo Juru Tulis Naya asal Cikedung (1972-1974) (Pejabat sementara),
26. Rali Juru Tulis Achyani asal Cikedung (1974-1982),
Kuwu Desa Cikedung setelah Pemekaran Desa dibagi dua wilayah adalah :
27. D. Sutana, asal Cikedung (1982-1985) (Pejabat sementara),
28. Warsidi asal Cikedung ,(Tidak Dilantik)
29. Dasikin Juru Tulis D. Sutana, asal Cikedung (1985-1990) (Pejabat Sementara),
30. Didi Sujatmadi asal Cikedung (1990-1998)
Kuwu Desa Cikedung setelah Orde Baru (Reformasi) adalah :
31. Achyani (1998 – 2008), Jurutulis/Sekdes Dasikin/Subandi,
32. Suherman. (Tahun 2008 – sekarang), Sekdes Subandi.
Kebudayaan Masyarakat Cikedung yang ada sejak zaman dulu diantaranya ;  Tradisi Ngaruat lembur atau sedekah Bumi, Tradisi Ziarah, Tradisi Hajat Tujuh Bulan, dan lain-lain.
Cagar Budaya yang ada diantaranya yaitu Makam buyut Kalen Sambi, Makam Buyut Kendel di Blok III, Makam Buyut Siyah di Blok I, Makam Buyut Kramat Jati di Blok II, Makam Buyut Walikukun di Blok IV, makam buyut Jatok serta makam-makam tokoh masyarakat Cikedung lainnya.
Wilayah Desa Cikedung terangkum dalam wilayah Kecamatan Cikedung. Pada tahun 1982  Desa Cikedung dimekarkan menjadi Desa Cikedung dan Desa Cikedunglor, mengingat jumlah penduduk dan luas wilayah geografis sudah cukup memenuhi persyaratan untuk dapat dimekarkan yang wilayahnuya  cukup luas.
 Sumber http://cikedungindramayu.blogspot.com/2013/10/sejarah.html


Saturday, 10 November 2012 SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar. Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati. Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan. Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama Desa Tegalagung. Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga. Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan pohon­-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk beristirahat para pengikutnya. Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang) hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter, belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut. Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh. Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu. Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan. Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut menyaksikan daerah yang baru dibuka itu. Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya memenuhi undangan Sultan Mesir. Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api). Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka dibangunlah 4 gubug besar. 1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya 2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya 3. Untuk Ayah dan Pamannya 4. Untuk pengawal dan pengikutnya Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain. Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat). Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan (batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi (keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu = Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-­buahan yang disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan sedekah bumi setiap tahunnya. Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya. Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon, keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa dari bagelen dan juga dari Demak. Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut. Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan menggunakan balok-balok kayu yang besar. Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan keperluan cocok tanam. Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan kesaktianya oleh Putra Campa tersebut. Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER. Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut Petilasan Ki Jago. Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau penuh dengan pengikut- pengikutnya. Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning manuk" (Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar, berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung) Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata. Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau. Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten) sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga sekarang. Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam). Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami pemugaran/perbaikan sampai sekarang. Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah peninggalan nenek-moyang kita.

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
Saturday, 10 November 2012 SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar. Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati. Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan. Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama Desa Tegalagung. Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga. Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan pohon­-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk beristirahat para pengikutnya. Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang) hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter, belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut. Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh. Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu. Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan. Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut menyaksikan daerah yang baru dibuka itu. Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya memenuhi undangan Sultan Mesir. Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api). Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka dibangunlah 4 gubug besar. 1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya 2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya 3. Untuk Ayah dan Pamannya 4. Untuk pengawal dan pengikutnya Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain. Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat). Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan (batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi (keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu = Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-­buahan yang disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan sedekah bumi setiap tahunnya. Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya. Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon, keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa dari bagelen dan juga dari Demak. Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut. Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan menggunakan balok-balok kayu yang besar. Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan keperluan cocok tanam. Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan kesaktianya oleh Putra Campa tersebut. Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER. Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut Petilasan Ki Jago. Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau penuh dengan pengikut- pengikutnya. Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning manuk" (Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar, berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung) Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata. Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau. Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten) sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga sekarang. Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam). Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami pemugaran/perbaikan sampai sekarang. Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah peninggalan nenek-moyang kita.

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar. Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati. Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan. Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama Desa Tegalagung. Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga. Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan pohon­-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk beristirahat para pengikutnya. Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang) hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter, belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut. Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh. Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu. Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan. Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut menyaksikan daerah yang baru dibuka itu. Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya memenuhi undangan Sultan Mesir. Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api). Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka dibangunlah 4 gubug besar. 1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya 2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya 3. Untuk Ayah dan Pamannya 4. Untuk pengawal dan pengikutnya Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain. Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat). Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan (batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi (keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu = Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-­buahan yang disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan sedekah bumi setiap tahunnya. Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya. Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon, keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa dari bagelen dan juga dari Demak. Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut. Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan menggunakan balok-balok kayu yang besar. Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan keperluan cocok tanam. Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan kesaktianya oleh Putra Campa tersebut. Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER. Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut Petilasan Ki Jago. Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau penuh dengan pengikut- pengikutnya. Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning manuk" (Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar, berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung) Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata. Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau. Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten) sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga sekarang. Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam). Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami pemugaran/perbaikan sampai sekarang. Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah peninggalan nenek-moyang kita. Posted by Rohman Imam Pradita Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest Newer Post Older Post Home Translate Diberdayakan oleh Terjemahan Total Pengunjung : 107238 Artikel Terbaru : SEJARAH PSIKOLOGI (09 Feb 2013) (0 comments) KUMPULAN FAKTA FAKTA SEPUTAR ISLAM (09 Feb 2013) (0 comments) SEPUTAR HAID / MENS WANITA (09 Feb 2013) (0 comments) MEMAKNAI POLITIK MENURUT ISLAM (12 Feb 2013) (0 comments) Berapapun Donasi Anda Amat Berharga Bagi Yang Membutuhkan, Kirim Ke : No Rek : 00465-01-50-002094-6 A/N : ANISA PRADINA SAFITRI Sekilas Cirebon :

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win

 

Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar. Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati. Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan. Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama Desa Tegalagung. Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga. Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan pohon­-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk beristirahat para pengikutnya. Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang) hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter, belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut. Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh. Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu. Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan. Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut menyaksikan daerah yang baru dibuka itu. Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya memenuhi undangan Sultan Mesir. Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api). Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka dibangunlah 4 gubug besar. 1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya 2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya 3. Untuk Ayah dan Pamannya 4. Untuk pengawal dan pengikutnya Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain. Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat). Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan (batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi (keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu = Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-­buahan yang disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan sedekah bumi setiap tahunnya. Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya. Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon, keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa dari bagelen dan juga dari Demak. Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut. Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan menggunakan balok-balok kayu yang besar. Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan keperluan cocok tanam. Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan kesaktianya oleh Putra Campa tersebut. Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER. Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut Petilasan Ki Jago. Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau penuh dengan pengikut- pengikutnya. Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning manuk" (Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar, berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung) Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata. Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau. Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten) sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga sekarang. Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam). Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami pemugaran/perbaikan sampai sekarang. Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah peninggalan nenek-moyang kita. Posted by Rohman Imam Pradita Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest Newer Post Older Post Home Translate Diberdayakan oleh Terjemahan Total Pengunjung : 107238 Artikel Terbaru : SEJARAH PSIKOLOGI (09 Feb 2013) (0 comments) KUMPULAN FAKTA FAKTA SEPUTAR ISLAM (09 Feb 2013) (0 comments) SEPUTAR HAID / MENS WANITA (09 Feb 2013) (0 comments) MEMAKNAI POLITIK MENURUT ISLAM (12 Feb 2013) (0 comments) Berapapun Donasi Anda Amat Berharga Bagi Yang Membutuhkan, Kirim Ke : No Rek : 00465-01-50-002094-6 A/N : ANISA PRADINA SAFITRI Sekilas Cirebon :

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
Saturday, 10 November 2012 SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU Al kisah berangkat dari cerita kanjeng Sunan Gunung Jati dengan istrinya Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sedang bermusyawarah memikirkan mimipi dan bisikan Ghoib, yang pada intinya disuruh membuka pedukuhan di Hutan Lebak Sungsang (Jawa : Alas Lebak Sungsang). Maka Sunan Gunung Jati memanggil Pangeran Pager Toya dan mertuanya Ramanda Tubagus Warida dan pamannya Tubagus Arsitem beserta Anaknya Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin dan para pengawalnya sebanyak 60 orang untuk mengiring keberangkatan istrinya Sunan Gunung Jati (Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten) menuju Wilayah Hutan Lebak Sungsang (Alas Lebak Sungsang). Sunan Gunung Jati merestui atas keberangkatannya dengan mengendarai dua kapal layar besar. Singkat cerita, rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tiba di diwilayah Muara Ciasem dengan tujuan mencari perbekalan dan air minum, serta menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Akan tapi di daerah Ciasem tidak ada seorangpun yang tahu keberadaan Hutan Lebak Sungsang maka rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten melanjutkan perjalananya dengan berlayar menuju ke Wilayah Cirebon. Di tengah perjalanan rombongan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten singgah di sebuah pulau yang bernama Pulau Gosong, di situ terdapat seorang kakek-kakek yang sedang menjemur rebon (udang kecil) dan terdapat sebuah Candi setelah didekati. Pangeran Pager Toya bertanya kepada Kakek itu dan beliau menyebutkan nama yaitu Ki Kriyan. Karena Ki Kriyan menghuni pulau tersbut maka Candi yang ada dipulau Gosong itu dinamanakan Candi Kriyan. Setelah mengetahui keberadaan pulau tersebut Pangeran Pager Toya menanyakan keberadaan wilayah Hutan Lebak Sungsang. Maka Ki Kriyan menjawab “Hutan Lebak Sungsang ada di bekas aliran Bengawan Cigalaga Sangyang Kendit” Kata Ki Kriyan berlayarlah menuju tegalan panjang dan luas. Setelah mendapat petunjuk dari seorang kakek penghuni pulau Gosong maka rombongan Nyi Mas Ratu ayu Kawunganten melanjutkan perjalannya menuju tegalan yang panjang dan luas. Sesampainya di tegalan tersebut maka rombongan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri bekas bengawan Cigalaga menuju Hutan Lebak Sungsang. Tegalan panjang dan luas tersebut sekarang menjadi sebuah Desa di pinggiran laut yang bernama Desa Tegalagung. Rombongan berjalan ke barat menuju bekas aliran Bengawan Cigalaga. Setelah menelusuri ke arah barat dari tegalan panjang dan luas maka sampailah di bekas aliran bengawan Cigalaga yang masih banyak airnya dan pohon­-pohon yang besar serta tanahnya rendah, berbukit dan masih banyak binatang buas yang minum dan mandi disitu. Maka Nyi Mas Ratu Kawunganten mencari tanah yang lebih tinggi untuk membangun gubuk untuk beristirahat para pengikutnya. Setelah beristirahat beberapa hari mulailah para pengikut dan pengawalnya membabad (menebang) pohon-pohon yang besar yang ada di wilayah hutan Lebak sungsang pada tahun 1497. Satu pohon ditebang oleh 10 orang dalam sehari tidak bisa tumbang karena sangat besarnya pohon tersebut. Hampir satu bulan pengikut dan pengawal membabad (menebang) hutan lebak sungsang baru bisa membentuk lahan beberapa puluh meter, belum lagi anak buahnya beliau banyak yang mati dan luka diterkam binatang buas. Belum lagi harus bertempur dengan penghuni hutan tersebut yaitu dua makhluk siluman yang bernama Dewa Arus dan Dewi Santi yang berwujud seekor ular Raksasa maka Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten bertafakur (bersemedi) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi kemudahan dalam membabad (menebang) Hutan Lebak Sungsang tersebut. Dalam tafakumya (semedi) ada suara tanpa rupa (bisikan Ghoib) yang memerintahkan agar Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten menanjabkan Tusuk Kondenya (Kancing Gelung) pada sebatang kayu bebsar yang telah roboh. Berkat kemurahan Tuhan yang Maha Esa maka terbakarlah pohon besar itu. Nyala api yang membungbung membakar seluruh Hutan Lebak Sungsang, semua hewan berlarian dan tidak sedikti yang mati terbakar serta banyak hutan-hutan di daerah lain yang ikut terbakar, diantaranya sekarang disebut Desa Jambe, Desa Bulak, Desa Tugu dan Desa Eretan. itu hasil pembakaran hutan hutan lebak sungsang yang apinya berterbangan. Dalam kurun waktu satu tahun semua hutan pohon-Pohon yang besar sudah rata dengan tanah. Selesai membakar dan mebabad hutan tersebut maka dipanggilnya paman Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten yaitu Tubagus Arsitem dan 10 orang pengikutnya untuk melaporkan kepada suaminya (Syech Sarif Hidayatullah) bahwa tugasnya telah selesai untuk membuka pedukuhan baru di wilayah hutan Lebak sungsang dan dimohon Sunan Bonang untuk ikut menyaksikan daerah yang baru dibuka itu. Sunan Bonang bersedia datang di pedukuhan lebak sungsang ikut dengan rombongan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dan Sunan Kali Jaga. Sesampainya rombongan di Pedukuhan Lebak Sungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten merasa seneng kurang bunga (gembira tapi merasa sedih). Karena kedatangan rombongan tidak beserta suaminya, dikarenakan suaminya memenuhi undangan Sultan Mesir. Sunan Bonang merasa bangga atas kegigihan dan kesaktian beliau dengan Pusaka Tusuk Konde yang bisa mengeluarkan api dan membakar semua hutan yang ada disekelilingnya. Sebagai tanda jasanya (penghargaan) Sunan Bonang memeberikan gelar kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten dengan sebutan RATU SUNEU (bahasa Indonesia : Ratu Api). Atas saran Mbah Kuwu Cirebon untuk segera membangun gubug yang besar untuk tempat kediamanya dan anak-anaknya serta pengikutnya. Maka dibangunlah 4 gubug besar. 1. Untuk Nyi Mas R.A Kawunagnten dan keluarganya 2. Untuk Mbah Kuwu sangkan dan Pager Toya 3. Untuk Ayah dan Pamannya 4. Untuk pengawal dan pengikutnya Selang beberapa bulan beliau meminta agar segera ditetapkan daerah yang telah di buka menjadi pedukuhan untuk diberi patok (batas). Maka berangkatlah Ki Kuwu Sangkan, Sunan Bonang dan Pangeran Pager Toya menuju batas wilayah Lebak Sungsang. Ki Kuwu Sangkan berjalan menujuh arah selatan dan Pangeran Pager Toya mengambil arah ke utara sedangkan Sunan Bonang meninjau bekas-bekas hutan yang terbakar di daerah lain. Setelah selesai mengelilingi dan memberi batas-batas (patok) wilayah Lebak Sungsang, Pangeran Pager Toya beristirahat di bawah pohon kedawung dekat dengan gubug Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sekitar seratur meter sebelah barat dan beliau mengubur ikat kepalanya di bawa pohon kedawung itu (sekarang disebut petilasan Ki Dawung yang masih di anggap keramat). Sedangkan Ki Kuwu Sangkan setelah selesai mengadakan pemberian batas (patok) beristirahatlah di barongan pring (pohon bambu) yang sangat banyak yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon pandan dan Ki Kuwu Sangkan duduk di atas sebuah batu. Untuk mengenang jasa Ki Kuwu Sangkan maka tempat duduk tesebut dikubur dan dinamakan Petilasan Ki Sela Pandan (batu pandan) yang masih dianggap keramat sampai sekarang (tepatnya berada di sebelah selatan lapang bola Kedokanbunder) dalam mengelilingi batas-batas pedukuhan tersebut. Pada tahun 1499 dan inilah yang menjadi dasar Hari Jadi Desa Kedokanbunder. Setiap tahunnya di adakan ider bumi (keliling tanah), setelah mengadakan ider bumi para penduduk mengadakan syukuran dengan menyediakan makanan dan hasil bumi (Wulu Wetu = Sansekerta) berupa beras, jagung, kacang-kacangan dan buah-­buahan yang disebut sedekah bumi yang terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap tahun di bulan Surah tanggal 14. sampai sekarang masih tetp diadakan sedekah bumi setiap tahunnya. Setelah itu Ki Kuwu Sangkan dan Pangeran Pager Toga juag Sunan Bonang pulang kembali ke Cirebon. Sedangkan yang masih tinggal dipedukuhan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten adalah Ratu Winaon, Sultan Hasanuddin, Tubagus Warida dan Tubagus Aritem serta 40 orang pengikutnya. Banyak orang yang berdatangan ke Padukuhuan Lebak Sungsang. Kebanyakan orang yang datang ingin bercocok tanam dan mendirikan gubug sebagai tempat bermukim. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu syaratnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang yang datang ke Padukuhan Lebak Sungsang dari berbagai daerah diantaranya dari cirebon, keturunan arab, keturunan India, keturunan Cina, bawean karimun jawa dari bagelen dan juga dari Demak. Setelah banyak orang yang berdatangan, Pedukuhan Lebak Sungsang dilanda kekeringan, Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten sangat perihatin dan sedih hatinya melihat penduduk kekurangan air. Segala reka daya (usaha) belum juga membuahkan berhasil untuk menanggulangi kekeringan yang melanda Padukuhan Lebak Sungsang. Bukan hanya tanaman yang menjadi korban keganasan kekeringan itu bahkan sampai binatang dan jiwa manusia pun tidak sedikit yang menjadi korban kekeringan tersebut. Maka beliau bersama sanak saudaranya, bapak dan pamannya tetap tabah dan berdoa kepada Allah SWT. Dalam doanya beliau mendapat bisikan ghoib agar menancapkan tusuk kondenya (kancing gelung) ke tanah yang lebih rendah maka ditancapkannya pusaka beliau dengan ijin Tuhan, maka keluarlah air yang sangat deras (sumber air). Karena sangat derasnya air longsorlah tanah disekitarnya. Untuk menahan sumber air tersebut jangan sampai tertutup kembali maka dipasanglah tembok penahan longsor dengan menggunakan balok-balok kayu yang besar. Amanat Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten kepada rakyatnya agar sumber air tadi dijaga dan dilestarikan agar anak cucunya tidak lagi kekurangan air, sumber air tersebut diberi nama dengan sebutan SUMUR GEDE (sampai sekarang masih terawat dan masih dikeramatkan). Air tersebut oleh penduduk Lebak Sungsang dimanfaatkan untuk minum, berwudhu, mandi dan keperluan cocok tanam. Kesaktian belaiu sangat termasyur (terkenal) sampai ke Negeri Campa dan banyak negara-negara lain yang ingin mengayoni (mengukur) kehebatan beliau. Maka pada suatu hari datanglah seorang Putra Raja Campa yang bernarna JIOU PHAK dan dua orang pengawalnya JIAU GO dan Qi Pa Lhiang serta 40 orang prajuritnya yang bertujuan untuk meminang beliau, tapi beliau menolak karena sudah mempunyai suami. Putra Campa tetap memaksa kehendaknya untuk meminangnya namun Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten tetap pada pendirian, maka terjadila peperangan dan uji kesaktian antara Jiou Phak dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Dalam perkelahian tersebut Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten hampir terkalahkan baik kekuatan tenaga dan kesaktianya oleh Putra Campa tersebut. Ki Kuwu Sangkan mengetahui bahwa di Pedukuhan Lebak Sungsang tengah terjadi peperangan antara Putra Raja Campa seprajuritnya dan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten pengawal dan pengikutnya maka Ki Kuwu Sangkan datang Ke Pedukuhan Lebak Sungsang dan meberikan Golok Cabang kepada Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Golok Cabang lalu disabetkan ke tanah oleh beliau maka Jiou Phak langsung terjatuh terduduk (Jawa = Kedodok) dan sekarat. Bekas sekaratnya itu sampai bundar (jawa = bunder). Untuk mengenang pertempuran Putra Campa yang kalah terduduk bundar akhirnya tempat itu dinamakan KEDOKANBUNDER (Asal kata terduduk=Kedodok dan Bundar=Bunder). Yang pada semula namanya Pendukuhan Lebak Sungsang akhirnya diganti menjadi KEDOKAN BUNDER. Dalam peperangan itu Putra Campa sampai dengan menghembuskan nafas terakhirnya dan dikuburkan di tanah yang agak tinggi yang sampai sekarang masih bisa kita lihat kuburannya di sebelah timur lapang bola Desa Kedokanbunder, sedangkan para prajuritnya yang masih hidup enggan pulang ke negeri Campa akan tetapi menyerah dan mengabdi di Pedukuhan Kedokanbunder sampai akhir ayatnya. Putra Campa yang bernama Jiau Go kuburannya masih bisa kita lihat di blok lor Cilengkong yang disebut Petilasan Ki Jago. Akhirnya beliau memerintah padukuhan dan mensyiarkan Islam dengan penuh kesabaran, Ketawakalan. Hingga pada suatu hari beliau sakit, makin hari sakitnya semakin bertambah parah, orang-orang pun berdatangan dari tiap pelosok. Masing-masing ingin tahu sakit yang dideritanya. selain daripada itu mereka mengharapkan doa dan keberkaanya hingga rumah beliau penuh dengan pengikut- pengikutnya. Pada saat beliau akan meninggal, beliau sempat menyuruh putra-putrinya mendekati seraya berkata : "Anak isun lan para pengikut isun kabeh terutama, turutana perintae Gusti Allah Ian perintae Wong tuamu sing wis lairaken ira Ian gedeaken ira Ian muliaken tamu kang teka ning umae ira lan ngomonga sing bener, melakua ning tujuan aja nganti keder, dadia menusa aja dadi uwong.Sebab lamon dadi wong-wongan mung diwedeni ning manuk" (Arti kata dalam bahsa Indonesia : Khususnya anak saya beserta para pengikutku semuanya, turutilah perintahnya Allah SWT dan perintah orang tuamu yang telah melahirkan kamu dan membesarkan kamu dan muliakan tamu yang datang di rumah kamu dan berbicaralah dengan baik dan benar, berjalanlah pada tujuan jangan sampai tersesat, jadilah manusia jangan sampai jadi orang-orangan yang hanya ditakuti oleh burung) Pada tahun 1561 beliau wafat dan tersebarlah berita kemana-mana, para pengikutnya baik yang dekat maupun yang jauh datang ke Padukuhan Kedokanbunder dengan penuh rasa duka dan disertai cucuran air mata. Karena orang yang dicintai telah tiada. Setiap orang terus berdatangan menziarahi makam beliau sambil memperlihatkan kecintaan dengan membacakan puji-pujian dan bacaan-bacaan untuk mendo’akan beliau. Kesemuanya itu di tunjukkan kepada beliau (Nyi Mas Rata Ayu Kawunganten) sebagai tanda penghormatan dan mengenang akan keteladanan dan kebijaksanaannya. Beliau dipanggil sang Kholik pada tahun 1561 dan kepemimpinan pedukuhan juga syiar Islam ditersukan oleh anak cucu dari keturunannya. Kebiasaan-kebiasan yang dulu seperti IDER BUMI (Keliling Wilayah), SEDEKAH BUMI (Syukuran) tetap dilaksanakan tiap tahun hingga sekarang. Dan setelah pedukuhan-pedukuhan lain ada penghuninya maka pimpinan pedukuhan Kedokanbander mengundang masyarakat yang ada di pedukuan lain untuk berkunjung ke pedukuan Kedokanbander dalam rangka untuk ikut IDER BUMI dan sedekah bumi serta doa bersama untuk mendoakan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten. Kedatangan masyarakat dari pedukuhan lain yang datang berkunjung ke Pedukuhan Kedokanbunder pada saat itulah disebut Acara NGUNJUNG/UNJUNGAN yang artinya KUNJUNGAN dan acara adat tersebut masih tetap dilaksanakan serta dilestarian sampai sekarang. Sumber air yang disebut SUMUR GEDE juga setiap acara UNJUNGAN rame dikunjungi oleh orang untuk mengambil air dari sumur tersebut sebagai tumbal tanaman di sawah/ladang dan sebagai penyembuhan penyakit (Allahu Alam). Atas Ketekunan juru kunci, yang semula Situs Kuburan Nyi Mas Ratu Ayu Kawunganten berupa gubug ilalang sedikit demi sedikit terus mengalami pemugaran/perbaikan sampai sekarang. Maka dari itu kepada generasi penerus peliharalah dan lestarikanlah peninggalan nenek-moyang kita.

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
SEJARAH DESA KEDOKANBUNDER, INDRAMAYU

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win