Rabu, 03 November 2010

Keunikan Karya Wayang Kulit Keemasan Masa Silam



Wayang Kulit sepintas seperti biasa-biasa saja walaupun tengah dimainkan diatas panggung. Namun ketika kita mengamati detail wayang kulit, membuat kita tertegun karena kagum. Wayang hidup sudah sejak lama sekali, kalau tidak salah sejak jamannya Para Wali Songo wayang sudah diperkenalkan sebagai kesenian yang mempunyai tujuan sebagai media dakwah. Cerita-cerita Ramayana dan Mahabrata yang telah dirubah sedemikian rupa yang mengacu kepada dakwah penyebaran Islam, membuahkan imaje positif yang terpatri dihati penggemarnya hingga kini.
Detail Wayang Kulit yang rumit dengan cukilan-cukilan halus diatas lembaran kulit sapi atau kerbau itu, memberikan nuansa indah ketika bayangannya muncul dilayar panggung Wayang Kulit. Detail itulah yang membuat kita merasa kagum akan ketekunan, ketelitian,kesabaran dan keseriusan pembuat Wayang Kulit. Hasil tangan terampil mereka menghasilkan karya indah dan agung yang mampu bertahan puluhan hingga ratusan tahun.
Keunikan karya Wayang Kulit merupakan keemasan masa silam yang sulit dilupakan orang, dari sisi manapun karya Wayang Kulit mampu meninggalkan decak kekaguman. Betapa para pembuat Wayang Kulit tempo dulu sudah demikian kreatifnya, hingga mampu menghasilkan puluhan karya yang tetap awet sepanjang jaman.
Hal inilah yang sepantasnya mendorong motivasi para pengrajin kita, agar tetap berusaha untuk menghasilkan karya kerajinan yang mampu bertahan lama dan tetap disenangi orang. Kreatifitas para leluhur kita membuktikan bahwa setiap orang mestinya mampu melakukan hal yang sama walaupun dalam wujud karya yang lain. Jangan cepat bosan berkarya apalagi berhenti berkreasi, karena terobosan dalam menciptakan kreasi baru akan memberikan nilai lebih yang sangat beharga. Kini dunia telah mengembar gemborkan industri kreatif semua yang berbau kreatif akan sangat dihargai, bukan karena asal ucap, tetapi memang kreatifitaslah yang akan memberikan nuansa lain dalam berkehidupan dimasyarakat.
Industri Kreatif ternyata mampu memberikan sumbangsih yang tinggi dalam mengapreasi karya dilingkungan konsumen, upaya kreatif banyak menghasilkan dampak positif bagi keberlangsungan usaha. Tanpa kreatifitas, maka tingkat kebosanan akan menggerogoti setiap perjalanan usaha kita.
Berkat keunikan karya Wayang Kulit kita jadi terobsesi untuk melakukan hal yang sama, selalu mencari kreatifitas ntuk mencapai kepuasan pelanggan atau konsumen. Tidaklah salah jika Wayang Kulit menjadi mediator kreatifitas kita untuk mencapai kesuksesan dalam berbisnis atau melakukan usaha dibidang apapun.
Lengkapilah wawasan kreatifitas kita agar kita tidak tertinggal dalam dunia modern serta Globalisasi ini. Semoga.

Penulis,

Halimi,SE,MM.

Menikmati hasil menekuni kerajinan Lukisan Kaca



Lukisan Kaca Cirebon sebuah karya seni yang dipercayai merupakan warisan tempo doeloe, berkembang sudah sejak lama sekali ditanah Caruban Nagari ini. Berawal dari seni rakyat yang berada disekitar Keraton Pakungwati atau Keraton Kasepuhan Cirebon, sebagai media seni yang bertutur tentang pengembangan Islam di tatar Caruban Nagari. Media seni yang akhirnya menempati tempat dihati penggemarnya, bahkan Lukisan Kaca saat itu mejadi media dakwah Islam melalui Lukisan Kaligrafi.
Banyak yang menyebutkan Lukisan Kaca Kaligrafi Islam Cirebon seperti mengandung daya magis yang membuai penikmatnya serta mempunyai kekhasan dan kesepesifikan tersendiri, bahkan tidak sedikit (katanya lho) dijadikan tulak bala. Wallahualam bisawab.
Terlepas dari itu semua saya menyukai Lukisan Kaca Cirebon karena mempunyai potensi besar yang akan menciptakan "ikon" kerajinan diwilayah Kota Cirebon dan sekitarnya. Berbicara Cirebon tentu takkan lepas dari berbicara tentang Lukisan Kaca Cirebon, karena ikon ini telah lama membekas dalam ingatan setiap orang.
Kenapa demikian ?
Kita lihat tadi tentang sedikit sejarah Lukisan Kaca masa silam yang berkait erat dengan sejarah perkembangan Islam di tatar Cirebon dan Jawa, kemudian daya tarik tersendiri yang ditampilkan Lukisan Kaca Cirebon. Dan yang sangat menakjubkan Lukisan Kaca Cirebon dilukis dengan gaya terbalik, cukup bingung bukan ?
Melukis dengan gaya terbalik, sesuatu pekerjaan seni yang membutuhkan ketelitian,kesabaran dan keseriusan. Karena ketika kita melukisnya, maka lukisan yang kita buat tertutup seluruhnya oleh yang dikuaskan menutup sktesa yang kita buat. Jangan buru-buru pengen melihat bagian depannya sebelum cat kering ! akan sia-sia jika dilakukan tanpa menunggu catnya kering, bisa-bisa seluruh cat meleber kemana-mana dan Lukisan jadi berantakan.
Nah dengan ketelitian ketika melukis, perlu kesabaran menunggu waktunya cat mengering (biasanya satu hari penuh) dan akhirnya baru keseriusan melakukan finishing seperti mmberi bingkai untuk lembaran kaca yang telah dilukis, memberi background pada latar belakang lukisan serta melakukan pemeriksaan akhir dari keseluruhan pekerjaan melukis.
Baru dech......kita bisa membalikan bagian depan....untuk dapat melihat hasil lukisan kaca tersebut. Dan wuaaaahhh pasti akan terpana dengan hasilnya, cantik,menarik dan indah dipandang mata.
Bagian pengecatan yang berada didalam dimaksudkan agar Lukisan menjadi awet dan tahan lama, karena tidak dapat tergores dan terjangkau tangan. Ketebalan kaca memberikan daya tarik tersendiri yang mampu membiaskan kedalaman lukisan kaca yang kita buat,warna warni dari cat yang dipoleskan akan nampak benning tertutup lapisan lembaran kaca.
Kini saya telah belasan tahun melakoni usaha Lukisan Kaca Cirebon, sangat memberikan kenikmatan tersendiri selama melakoni usaha tersebut. Daya kreatifitas semakin tergali, ketelitian,kesabaran dan keseriusan semakin mengasah sikap saya selama ini. Belum lagi jika Lukisan Kaca itu laku dipasaran, selain bangga dan senang maka puluspun mengalir mengisi pundi-pundi. Walau tidak selancar air mengalir, usaha ini masih tetap bisa diandalkan sebagai sumber penghasilan saya.
Saya bersyukur bisa menekuni usaha Lukisan Kaca Cirebon ini, ada rasa bahagia terselip dihati saya. Rasa bahagia karena telah ikut melestarikan kerajinan seni Lukisan Kaca Cirebon, rasa senang karena memberikan nilai tambah bagi kehidupan saya serta rasa bangga yang melengkapi hidup sebagai warga Cirebon.
Akhirul kata, saya akan tetap menekuni usaha ini sepanjang saya mampu menuangkan kreatifitas, semoga Allah SWT tetap memberikan keberkahan atas usaha ini. Amien.

Penulis,

Halimi,SE,MM.

Senin, 01 November 2010

Wayang Purwa

Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasan ceritanya bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut dapat berupa wayang kulit, wayang golek atau wayang wong (orang). Pendapat para ahli, istilah purwa tersebut berasal dari kata parwa yang berarti bagian dari cerita Ramayana atau Mahabharata. Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa sering diartikan pula purba artinya zaman dulu. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang menyajikan cerita-cerita zaman dahulu. Pada wayang jenis ini banyak kita jumpai beberapa ragam, sejarah, asal mulanya antara lain :

2.3.2.1 Wayang Rontal (939)

Prabu Jayabaya dari kerajaan Majapahit, yang gemar sekali akan wayang, membuat gambar-gambar dan cerita-cerita wayang pada daun tal dalam tahun 939 Masehi (861 Caka dengan sengkalan: gambaring wayang wolu). Wayang tersebut dinamakan wayang Rontal (rontal yaitu daun tal dari pohon Lontar: Bali, Jakarta; Siwalan: Jawa)

2.3.2.1.1 Wayang Kertas (1244)

Karena gambar-gambar yang terdapat pada daun tal itu terlalu kecil untuk dipertunjukan, maka Raden Kudalaleyan atau yang disebut Prabu Surya Hamiluhur dari Pajajaran memperbesar gambar wayang tersebut di atas kertas pada tahun 1244 (1166 Caka, dengan sengkalan: hyang gono rupaning jalmo).

2.3.2.2 Wayang Beber Purwa (1361)

Prabu Bratono dari kerajaan Majapahit membuat wayang Beber Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 (1283 Caka, dengan sengkalan: gunaning pujangga nembah ing dewa). Pendapat tersebut tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389 yang bertahta di Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apabila Prabu Bratono adalah juga Prabu Hayam Wuruk. Wayang Beber Purwa dimaksudkan suatu pergelaran wayang mBeber cerita-cerita purwa (Ramayana atau Mahabharata).

2.3.2.3 Wayang Demak (1478)

Berhubung wayang Beber mempunyai bentuk dan roman muka seperti gambar manusia, sedangkan hal itu sangat bertentangan dengan agama dan ajaran Islam, maka para Wali tidak menyetujuinya. Penggambaran manusia merupakan kegiatan yang dinilai menyamai, setidak-tidaknya mendekati kekuasaan Tuhan. Hal tersebut di dalam ajaran Islam adalah dosa besar. Akhirnya wayang Beber kurang mendapat perhatian oleh masyarakat Islam dan lenyaplah wayang Beber tersebut dari daerah kerajaan Demak. Kemudian para Wali menciptakan wayang purwa dari kulit yang ditatah dan disungging bersumber pada wayang zaman Prabu Jayabaya. Bentuk wayang diubah sama sekali, sehingga badan ditambah panjangnya, tangan-tangan memanjang hampir mendekati kaki. Selain itu leher, hidung, pundak dan mata diperpanjang supaya menjauhi bentuk manusia.

Yang tinggal hanya gambaran watak manusia yang tertera pada bentuk wayang purwa tadi. Hal ini dilakukan pada tahun 1518 (1440 Caka, dengan sengkalan: sirna suci caturing dewa). Dan pada tahun 1511 (1433 Caka, dengan sengkalan: geni murub siniraming wong), semua wayang Beber beserta gamelanya diangkut ke Demak, setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wayang Kulit Purwa seperti yang kita lihat sekarang ini merupakan penjelmaan dari hasil ciptaan para Wali Sembilan (Wali Sanga) dalam abad ke-XVI.

2.3.2.4 Wayang Keling (1518)

Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di daerah pesisir utara pulau Jawa, yakni di Pekalongan. Munculnya wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam di Jawa, menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 – 1522). Masa per golakan Majapahit (Paregreg), membuat orang-orang yang kokoh mempertahankan agama Hindu-Budha-nya lari berpencar ke daerahdaerah lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian menciptakan seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru. Meskipun dalam sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak menonjol pada gelung cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Antawacananya memakai bahasa rakyat setempat, dan satu hal yang menarik dalam pagelaran wayang Keling tersebut ialah bahwa tokoh Wisanggeni dan Wrekodara bisa bertata krama dengan menggunakan bahasa halus (Kromo Inggil).

Keling, seperti yang disebutkan dalam buku karya dua penulis R. Suroyo Prawiro dan Bambang Adiwahyu, semula bermaksud mengenang nenek moyang mereka yang datang dari Hindustan masuk ke Jawa untuk pertama kalinya, di samping itu juga sebagai kenang- kenangan dengan adanya kerajaan Budha di Jawa yang disebut kerajaan Kalingga. Wayang Kelingpun jauh berbeda dengan Wayang Purwa. Silsilah wayang tersebut rupanya paling lengkap sejak zaman Nabi Adam, Sang Hyang Wenang hingga Paku Buwono IV yaitu raja Surakarta (Th. 1788 – 1820). Hal tersebut kiranya kurang rasioanl, mengingat tidak adanya buku-buku atau catatan-catatan resmi yang menyatakan bahwa Sang Hyang Wenang adalah keturunan Nabi Adam. Dalam pementasan wayang Keling, dalang berfungsi pula sebagai Pendita atau Bikhu dengan memasukkan ajaran-ajaran dari kitab Weda ataupun Tri Pitaka dalam usaha melestarikan agama Hindu dan Budha. Dengan demikian sang dalang termasuk juga sebagai pengembang faham Jawa (Kejawen) di daerah Pekalongan dan sekitarnya.

2.3.2.5 Wayang Jengglong

Selain wayang Keling, di Pekalongan masih terdapat pula pedalangan wayang Purwa khas Pekalongan yang disebut wayang Jengglong. Pergelaran wayang Jengglong menggunakan wayang purwa wanda khas Pekalongan dengan iringan gamelan laras Pelog. Sumber cerita pada umumnya diambil dari buku Pustaka Raja Purwa Wedhoatmoko.

2.3.2.6 Wayang Kidang Kencana (1556)

Wayang ini diciptakan oleh Sinuwun Tunggul di Giri yang tidak jelas dimana letak kerajaannya pada tahun 1556 (1478 Caka, dengan sengkalan: salira dwija dadi raja). Wayang Kidang Kencana berukuran lebih kecil dari pada wayang purwa biasa. Tokoh-tokoh diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Dalang-dalang wanita serta dalang anak-anak pada umumnya memakai wayang-wayang tersebut untuk pergelaranya, karena wayang Kidang Kencana tidak terlalu berat dibanding dengan wayang pedalangan biasa.

2.3.2.7 Wayang Purwa Gedog (1583)

Raden Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya (1546 – 1586) dari kerajaan Pajang membuat Wayang Purwa Gedog pada tahun 1583 (1505 Caka, dengan sengkalan: panca boma marga tunggal). Sangat disayangkan budayawan-budayawan Indonesia tidak menjelaskan bagaimana bentuk tokoh-tokoh wayang serta cerita untuk pergelaran wayang tersebut.

2.3.2.8 Wayang Kulit Purwa Cirebon

Perkembangan seni pewayangan di Jawa Barat, terutama bentuk wayang kulitnya, berasal dari wayang kulit Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal itu terbukti dari bentuk wayang purwa Cirebon yang kini hampir punah, serupa dengan bentuk wayang Keling Pekalongan, yakni gelung cupit urang pada tokoh-tokoh seperti Arjuna, Bima, Gathotkaca dan lain-lainya tidak mencapai ubun-ubun dan tokoh wayang Rahwana berbusana rapekan seperti busana wayang Gedog. Menurut para sesepuh di Cirebon, babon dan wayang kulit Cirebon memang mengambil cerita dari kitab Ramayana dan Mahabharata, tetapi sejak semula tersebut telah dikembangkan dan dibuat dengan corak tersendiri oleh seorang tokoh yang disebut Sunan Panggung. Cirebon berpendapat bahwa tokoh Sunan Panggung tersebut merupakan indentik dengan Sunan Kalijaga, seorang Wali penutup dari jajaran dewan Wali Sanga.

Maka dengan demikian, jelaslah bahwa materi Ramayana dan Mahabharata yang Hinduis itu telah banyak diperbaiki dan diperbaharui serta disesuaikan dengan dasardasar ajaran Islam. Selain itu, satu hal yang relevan dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para dalang wayang kulit ataupun dalang-dalang wayang Cepak di Cirebon memperoleh ajarannya dari cara-cara tradisional. Ia menjadi dalang dengan petunjuk ayahnya atau kakeknya yang disampaikan secara lisan, sehingga sulit bagi kita untuk menghimpun sastra lisan tersebut sekarang ini. Di wilayah Jawa Barat sedikitnya terdapat empat versi kesenian wayang kulit, yakni versi Betawi, Cirebon, Cianjur, serta Bandung dan masing-masing menggunakan dialeg daerah setempat. Melihat akan wilayah penyebaran kesenian wayang kulit yang bersifat kerakyatan itu, maka nampaklah suatu rangkaian yang hampir saling bersambungan dengan wilayah Banyumas, Pekalongan, Cirebon, Purwakarta, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, hingga Banten.

Nampaknya kesenian Wayang Kulit Cirebon masih mendapat tempat baik di lingkungan masyarakatnya dan penyebaranya dengan bahasa Cirebon Campuran yaitu campuran Jawa dan Sunda yang meliputi daerah-daerah seperti Kuningan, Subang, Majalengka, bahkan sampai Kabupaten Kerawang bagian timur. Suatu ciri khas pada pagelaran Wayang Kulit Cirebon adalah katerlibatan para penabuh gamelan (niyaga) yang bukan hanya melatar belakangi pertunjukan dengan alat musiknya, tetapi dengan senggakan-senggakan lagu yang hampir terus-menerus selama pergelaran berlangsung. Difusi kebudayaan tersebut berjalan lama serta mantap, dan peranan Wali Sanga sebagai faktor dinamik dan penyebar unsur peradaban pesisir tidak boleh dilupakan begitu saja. Contoh menarik peranan Wali Sanga yang berkaitan dengan Cirebon sebagai salah satu komponen peradaban pesisir adalah unsur kebudayaan dalam ungkapan kegiatan religi, mistik dan magi yang membaur dan nampak dalam pertunjukan wayang.

Para Wali sangat aktif dalam penciptaan-penciptaan seni pedalangan dan memanfaatkan seni karawitan untuk mengIslamkan orang-orang Jawa. Simbolisme dan ungkapannya nampak paling kaya dari seni karawitan dan seni pedalangan yang dimanfaatkan dalam setiap dakwahnya. Satu hal yang khas pula dalam jajaran wayang Kulit Cirebon, ialah apabila jumlah panakawan di daerah lainnya hanya empat orang, maka keluarga Semar ini berjumlah sembilan orang yakni Semar, Gareng, Dawala, Bagong, Curis, Witorata, Ceblek, Cingkring, dan Bagol Buntung, yang semuanya itu melambangkan sembilan unsur yang ada di dunia serta nafsu manusia, atau melambangkan jumlah Wali yang ada dalam melakukan dakwah Islam.

2.3.2.9 Wayang Kulit Purwa Jawa Timur

Seperti halnya dengan daerah-daerah lainnya, antara lain Cirebon, Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur pun mempunyai wayang kulit dengan coraknya sendiri dan sering di sebut wayang Jawatimuran atau wayang Jek Dong. Sebutan Jek Dong berasal dari kata Jek yaitu bunyi keprak dan Dong adalah bunyi instrumen kendang. Meskipun menggunakan pola wayang Jawa Tengah sesudah zaman masuknya agama Islam di Jawa, wayang kulit Jawatimuran mempunyai sunggingan dan gagrag tersendiri dalam pergelaranya, sesuai dengan apresiasi dan kreativitas selera masyarakat setempat.

Bentuk dan corak wayang kulitnya condong pada gaya Yoyakarta, terutama wayang perempuan (putren). Hal ini membuktikan bahwa sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, kebangkitan kembali wayang kulit Jawatimuran dimulai sebelum terjadinya perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Konon tercatat bahwa wayang gagrag Surakarta merupakan perkembangan kemudian setelah perjanjian Giyanti terlaksana. Ciri khas wayang kulit Jawatimuran yang mencolok terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala (irah-irahan) gelung yang dikombinasi dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima dan Gathotkaca,

yang di Jawa Tengah berwajah hitam atau kuning keemasan, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Jawatimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melambangkan watak angkara murka namun melambangkan watak pemberani.

Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang Jawa Tengah memiliki pola penggambaran karakter (wanda) yang mirip dengan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimuran Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana atau Pragota. Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum mengalami perubahan bentuk (deformasi) diperlihatkan oleh bentukbentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di gunung Lawu sebelah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bima melawan raksasa dengan menunjukkan angka tahun 1361 Caka atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerintahan Prabuputri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447). Pada masa peralihan ke zaman Islam, wayang kulit Purwa Jawatimuran Kuna sudah lama berkembang dengan sempurna, mengingat kekuasaan kerajaan Majapahit sebelumnya yaitu yang meluas ke seluruh Nusantara, maka pedalangan Jawatimuran-pun sudah populer di daerah Jawa Tengah.

Dalam pergelaran wayang kulit gagrag Jawatimuran mempunyai karakteristik tersendiri dengan memiliki empat jenis pathet, yaitu pathet Sepuluh (10), pathet Wolu (8), pathet Sanga (9), dan pathet Serang, sedangkan di Jawa Tengah lazim mengenal tiga pathet, yaitu pathet Nem (6), pathet Sanga (9), dan pathet Manyura. Jumlah panakawan wayang kulit Jawatimuran juga berbeda. Jumlah nakawan yang ada di wayang kulit purwa Cirebon dengan sebanyak sembilan panakawan, Jawa Tengah dengan empat panakawan, maka panakawan dalam wayang kulit Jawatimuran ini hanya memiliki dua panakawan, yaitu Semar dan Bagong Mangundiwangsa. Kedua tokoh panakawan yang bersifat dwi tunggal itu agaknya menjadi ciri khas dalam dunia wayang Jawatimuran.

Jumlah panakawan dalam wayang Jawatimuran lainya dapat kita jumpai pada cerita-cerita Panji yang menampilkan Bancak dan Doyok atau Judeh dan Santa (Jurudyah dan Prasanta), sedangkan dalam lakon Darmarwulan kita temui panakawan Nayagenggong dan Sabdapalon seperti nampak pada lukisan-lukisan relief candi di Jawa Timur. Dengan demikian terdapat suatu kesimpulan, bahwa tokoh panakawan tersebut pada mulanya hanya dua orang. Hal ini besar kemungkinan ada kaitanya dengan alam dan falsafah kejawen, bahwa pasangan panakawan Semar dan Bagong tersebut merupakan lambang alam kehidupan manusia yang bersifat roh dan wadag. Semar merupakan rohnya dan Bagong memanifestasikan kewadagannya. Namun dalam perkembangannya panakawan diwayang Jawatimuran bertambah, yaitu Besut dengan perwujudan seperti Bagong hanya lebih kecil. Besut dalam wayang Jawatimuran berperan sebagai anak Bagong.

Bangkitnya kembali wayang kulit Jawa Tengah yang ditunjang oleh kalangan atas yaitu kalangan kraton, berkembang pula seni pedalangan wayang kulit Jawatimuran pada perbedaan tingkat dan prosesnya. Ia berkembang bukan dari kalangan kraton malainkan dari tingkah bawah ke masyarakat banyak. Daerah perkembangan wayang kulit Jawatimuran meliputi daerah Surabaya, Sidoarjo, Pasuruhan, Malang, Mojokerto, Jombang, Lamongan dan Gresik.

2.3.2.10 Wayang Golek (1646)

Sesuai dengan bentuk dan cirinya yang mirip boneka, bulat yang dibuat dari kayu, maka disimpulkan bahwa, berdasarkan bentuk yang mempunyai ciri-ciri seperti boneka itu, sehingga benda tersebut dinamakan wayang Golek. Pada akhir pergelaran wayang kulit purwa, maka dimainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan di namakan Golek. Dalam bahasa Jawa, golek berarti mencari. Dengan memainkan wayang Golek tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton mencari (nggoleki) intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru lalu. Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah sehingga dinamakan wayang Golek.

Wayang-wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju serta selendang (sampur), dan dalam pementasanya tidak menggunakan layar (kelir). Sebagai pengganti lampu penerang pada wayang (blencong), sering dipakainya lampu petromak atau lampu listrik. Boneka- bonela kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragamnya, sesuai dengan tokoh-tokoh wayang dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Wayang Golek yang terbuat dari kayu dan berbentuk tiga dimensi itu, kepalanya terlepas dari tubuhnya. Ia dihubungkan oleh sebuah tangkai yang menembus rongga tubuh wayang dan sekaligus merupakan pegangan dalang. Melalui tangkai itulah dalang dapat menggerakkan kepala wayang dengan gerakan menoleh, serta dalang dapat menggerakan tubuh wayang dengan gerakan naik-turun.

Tangan-tangan wayang Golek dihubungkan dengan seutas benang, sehingga sang dalang dapat bebas menggerak-gerakannya. Dalam buku Wayang Golek Sunda, karangan Drs. Jajang Suryana, M.Sn, dikatakan: “Munculnya wayang Golek Purwa di Priyangan secara pasti berkaitan dengan wayang Golek Menak Cirebon yang biasa disebut wayang Golek Papak atau wayang Golek Cepak”. Kaitannya antara kedua jenis wayang itu hanya sebatas kesamaan raut golek yang tiga demensi (trimatra), sementara unsur cerita golek yang secara langsung akan menentukan raut tokoh golek, sama sekali berbeda. Golek Menak bercerita tentang Wong Agung Menak, Raja Menak atau Amir Hamsyah yang berunsur cerita Islam. Sedangkan Golek Purwa bercerita tentang kisah yang bersumber dari agama Hindu yaitu Mahabharata dan Ramayana. Cerita yang dipentaskan umumnya cerita Ramayana dan Mahabharata, namun ada jenis wayang Golek yang mementaskan cerita Panji atau cerita Parsi yang bernuansa Islam.

Daerah Jawa Barat yang pertama kali kedatangan wayang Golek adalah daerah Cirebon. Wayang tersebut kemudian masuk ke daerah Priangan dan mulai digemari masyarakat Sunda. Pementasan wayang Golek tersebut menggunakan bahasa masyarakat Pasundan Jawa Barat. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat menyebut wayang itu wayang Golek Sunda atau Golek Purwa, yang dalam pementasanya mengambil cerita-cerita berdasarkan kitab Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut telah ada sebelum wayang Golek Menak diciptakan, yakni pada masa pemerintahan Prabu Amangkurat I di Mataram (1646 – 1677).

Pada pembukaan seminar pedalangan Jawa Barat I pada tanggal 26-29 Februari 1964 di Bandung, telah diwujudkan dan diciptakan wayang Golek baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman, kemudian atas keputusan para pengurus yayasan pedalangan Jawa Barat wayang dengan bentuk pemanggungan yang baru tersebut, diberi nama Wayang Pakuan. Dalam pergelaran wayang Golek Pakuan tersebut dipentaskan pula cerita-cerita Babad Pajajaran, penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan datangnya bangsa asing di Indonesia. Dengan cerita-cerita tersebut di atas maka tokohtokoh dalam wayang Golek Pakuan di antaranya seperti Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran serta Jan Pieterzoon Coen atau Murjangkung, Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-XIX Pangeran Kornel seorang Bupati Sumedang, Jawa Barat, terkenal sebagai pencipta wayang Golek Purwa Sunda yang bersumberkan pada wayang Golek Cepak dari Cirebon. Sejak munculnya wayang Golek Purwa Sunda tersebut, maka kesenian itu menjadi sangat populer dan dapat merebut hati rakyat Jawa Barat umumnya serta orang-orang Sunda di daerah Priangan Khususnya. Di daerah Jawa Tengah terdapat wayang golek dengan berbagai macam jenis dan disesuaikan dengan lakon pergelarannya. Tetapi pada umumnya wayang golek tersebut berbentuk wayang Golek Menak. Cerita pada umumnya adalah cerita-cerita Menak Wong Agung Jayengrana, yang bersumber pada serat Menak. Wayang golek tersebut kemudian terkenal dengan sebutan wayang Thengul.

Di Jawa Barat-pun terdapat wayang Golek Menak dengan cerita yang sama, bernafaskan Islam, yaitu kisah Amir Hamzah (paman Nabi Muhammad s.a.w.) beserta tokoh-tokoh lainnya seperti raja Jubin, Adam Billis, Tumenggung Pakacangan, Suwangsa, Pringadi, Panji Kumis, Raden Abas dan Umarmaya. Wayang-wayang tersebut disebut wayang Bendo. Sesudah kerajaan Demak runtuh, kraton pindah ke Pajang dan sebagian wayang-wayang di bawa ke Cirebon karena kerajaan Cirebon mempunyai hubungan yang erat dengan Demak. Maka tidak mengherankan kalau di Cirebon terdapat wayang Golek Purwa bercampur dengan wayang Golek Menak, sehingga dalam pementasannya disebut wayang Cepak.

Wayang Golek Cepak tersebut membawakan lakon Menak dan disamping itu membawakan pula cerita-cerita sejarah perkembangan agama Islam di Jawa. Seirama dengan perkembangan serta kemajuan zaman dalam modernisasi wayang, sejak tahun 70-an wayang Golek Sunda ini dilengkapi dengan pemakaian keris serta Praba yang terbuat dari kulit berukir (ditatah dan disungging) untuk tokoh- tokoh wayang tertentu, seperti Kresna, Gathotkaca, Baladewa, Rahwana dan lainnya.

2.3.2.11 Wayang Krucil (1648)

Raden Pekik di Surabaya membuat wayang Krucil pada tahun 1648 (1571 Caka, dengan sengkalan: watu tunggangngane buta widadari). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk seperti wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya terbuat dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada umumnya di siang hari dan tidak menggunakan kelir. Kemudian untuk seterusnya wayang Klithik ini digunakan untuk pergelaran cerita Damarwulan- Minakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab Mahabharata, yang kemudian wayang tersebut disebut wayang golek Purwa. Cerita Damarwulan-Minakjingga adalah melambangkan pertentangan antara Damarwulan sebagai bulan dan Minakjingga sebagai matahari.

Wayang Klithik juga mengenal ciri-ciri menurut gayanya antara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, dan gaya Mangkunegaran. Pada gaya Yogyakarta bentuk wayang tersebut nampak kurang anatomis terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif. Sedangkan gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran mendekati bentuk wayang kulit yang nampak arstistik dan mengarah pada sifat kehalusan dan ketenangan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang Klithik dipakainya gamelan dengan laras Slendro yang berjumlah lima macam, yakni kendang, saron, kethuk-kenong, kempul barang dan gong suwuk-an. Irama gamelan pada umumnya sangat monotoon seperti irama kuda lumping (jathilan). Pada setiap adegan jejeran ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandang Gula, Sinom, Pangkur, Asmaradana dan lain sebagainya. Tembang-tembang tersebut berperan sebagai suluk dalam pertunjukan wayang kulit.

Pada masa lalu pertunjukan wayang Klithik merupakan pertunjukan ritual sakral tak ubahnya seperti pertunjukan wayang kulit Purwa. Namun karena kondisi dan vareasi pertunjukannya yang secara teknis terlalu statis serta dalang yang berpegang teguh pada aturan baku dan sangat terikat pada lakon tertentu, tanpa mau mengembangkannya, sehingga pertunjukan tersebut tidak mampu memenuhi selera zaman dan banyak penonton yang meninggalkannya. Selain itu ceritanyapun berkisar pada babad Majapahit tanpa timbulnya cerita-cerita carangan atau gubahan baru. Pengaruh modernisasi dan waktu memang membuat banyak upacara-upacara ritual yang sakral serta seni budaya tradisional makin lama makin lenyap karena telah kehilangan pamornya.

2.3.2.12 Wayang Sabrangan (1704)

Paku Buwono I (1704 – 1719) membuat wayang Sabrangan atau tokoh dari daerah seberang dengan pemakaian baju pada tahun 1703 (1625 Caka, dengan sengkalan: buta nembah ratu tunggal). Wayang tersebut merupakan salah satu jenis dari wayang purwa di samping jenis wayang raksasa (raseksa) dan kera (kethek).

2.3.2.13 Wayang Rama (1788)

Paku Buwono IV (1788 – 1820) membuat wayang Rama yang khusus diciptakan untuk mempergelarkan cerita-cerita dari kitab Ramayana. Dalam wayang tersebut terdapat banyak wayangwayang kera dan raksasa, yang dibuat pada tahun1815 (1737 Caka, dengan sengkalan: swareng pawaka giri raja).

2.3.2.14 Wayang Kaper

Wayang kaper adalah wayang yang ukurannya lebih kecil di banding wayang Kidang Kencana. Wayang ini pada umumya digunakan untuk permainan anak-anak yang mempunyai bakat mendalang. Yang membuat wayang kaper tersebut umumnya orang kaya atau kaum bangsawan untuk menghibur diri dan untuk permainan anak cucu mereka. Wayang tersebut disebut kaper karena kecil bentuknya, kalau dimainkan sabetan tidak begitu lincah dan hanya nampak menggelepar-gelepar saja. Bilamana kena cahaya lampu, geleparangeleparan itu bagaikan kupu-kupu kecil yang terbang dekat lampu di malam hari. Pementasan wayang kaper tersebut menggunakan kelir dan blencong yang biasa dilakukan dalang anak anak (bocah) dengan mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata. Seperti halnya wayang kulit Purwa lainnya, wayang Kaper tersebut dibuat dari kulit yang ditatah dan disungging pula.

2.3.2.15 Wayang Tasripin

Tasripin almarhum seorang saudagar kaya yaitu pedagang kulit di Semarang, Jawa Tengah. Tasripin membuat wayang kulit gaya Yogyakarta dicampur gaya Pesisiran dengan ukuran luar biasa besarnya. Dibuat wayang tokoh Arjuna sebesar tokoh Kumbakarna, wayang terbesar dan tertinggi dari wayang pedalangan, sedangkan wayang-wayang lainnyapun ikut membesar dan sebanding dengan wayang Arjuna tadi. Wayang-wayang sebesar itu tidak mungkin untuk dipentaskan karena terlalu besar dan berat serta tidak ada seorang dalangpun yang mampu memainkannya. Wayang-wayang tersebut dilapisi kertas emas (diprada), ditatah serta disungging, dan hanya untuk pameran belaka yang kemudian disebut wayang Tasripin.

2.3.2.16 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun.

Wayang Kulit Betawi ini merupakan satu-satunya teater boneka di kalangan masyarakat Betawi. Grup wayang kulit ini masih terdapat di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Wilayah Bekasi terutama Kecamatan Tambun merupakan wilayah yang paling potensial bagi wayang kulit Betawi tersebut, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat dimaklumi kalau ada beberapa orang yang menamakan teater ini dengan nama wayang Tambun. Para ahli pedalangan berpendapat, bahwa wayang kulit Betawi berasal dari Jawa Tengah, yang kedatangannya di Jakarta dan sekitarnya dihubungkan dengan penyerangan Sultan Agung ke Batavia (Batavia = Jakarta) pada zaman Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen (1628 – 1629). Bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk wayang kulit di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari Cirebon, Indramayu, Pamanukan, Cilamaya, Karawang sampai Tambun dan Jakarta, nampak pada wayang kulit tersebut adanya persamaan

yang cukup mencolok, sehingga pendapat yang mengatakan, bahwa wayang kulit Betawi merupakan suatu pengaruh yang beranting dari Jawa Tengah.

Adanya persamaan temperamen antara wayang kulit Betawi dengan wayang kulit Banyumas, ini dapat terlihat dengan adanya persamaan pada alat musik pengiring yang berupa gambang. Pada wayang kulit Betawi di masa lampau, alat musik gambang tersebut di buat dari bambu seperti gamelan Calung pada wayang kulit Banyumas. Wayang kulit Betawi ini banyak mendapat pengaruh dari wayang Golek Sunda, baik dalam lagu, sabetan, dan lakonnya. Dalam hal lagu walaupun iramanya sepintas lalu Sunda, pada hakekatnya lagu-lagu ini adalah perpaduan antara Sunda dan Betawi, yang sejak semula sudah ada pada musik Gamelan Ajeng Betawi. Kaidah adalah apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka. Benar atau tidaknya ajaran tersebut, bilamana ditinjau dari kaidah dan yang ada di Jawa Tengah, tidaklah menjadi halangan bagi mereka. Wayang kulit Betawi pada hakekatnya benar-benar merupakan suatu seni rakyat yang unsur improvisasi dan spontannitasnya mengambil bagian yang terbanyak dari suatu pertunjukan. Keterlibatan penabuh gamelan terlihat sangat kental dan bahkan para penonton juga terlibat dalam pertunjukannya, hal tersebut terjadi secara spontan dan wayang kulit Betawi memang benar-benar menampilkan sesuatu yang spesifik dalam seni rakyat dimana pemain dan penonton melebur menjadi suatu totalitas yang akrab.

Cerita yang ada pada wayang kulit Betawi hanya mengandalkan apa yang mereka sebut Kanda Keling dan Kanda Mataram. Kanda Keling adalah apa yang diterima dari guru mereka, sehingga dua orang dalang yang berguru pada dua orang guru yang berlainan, bisa memainkan lakon yang berbeda pula. Sedangkan Kanda Mataram adalah lakon yang dikarang atau diciptakan ki dalang sendiri dengan memasukan hal-hal baru di dalamnya, dan dalang menutup pertunjukannya dengan lagu Wayangan Giro. Dari segi sastra, wayang Tambun sudah sejak dulu memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, yaitu bahasa Indonesia Kuna (Melayu) yang lazim dipakai masyarakat Tambun dengan corak iringan gamelan yang bernada ke-Sundaan. Bagi masyarakat Betawi, wayang Tambun ini disebut Wayang Kulit Tambun.

2.3.2.17 Wayang Ukur

Tergugah oleh jiwa seninya pada masa kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, Sukasman merasa heran mengapa dalam Akademi tersebut, seni rupa wayang yang telah merupakan suatu masterpiece yang adiluhung itu tidak dimasukan kurikulum. Setelah memperhatikan bentuk-bentuk wayang dari zaman ke zaman yang telah diciptakan sejalan dengan pengungkapan jiwa manusia, maka terlihatlah bahwa wayang-wayang itu mendapatkan perubahan-perubahannya, baik dalam bentuk tinggi besarnya maupun dalam ornamen-ornamennya, contoh, seperti yang terlihat pada tokoh Kresna. Pada gaya Surakarta tokoh tersebut dilengkapi dengan garuda mungkur pada irah-irahannya, sedang gaya Yogyakarta memakai merak mungkur. Demikian pula nampak jelas bila kita perhatikan ornamen-ornamen wayang kulit gaya pesisiran, antara lain wayang kulit Cirebon dan wayang kulit Pekalongan.

Terkesan oleh perubahan-perubahan bentuk serta ornamen- ornamen pada wayang, yang jelas nampak pada gaya Surakarta, Yogyakarta dan Cirebon serta Kedu, maka pada tahun 1964 Sukasman telah menciptakan jenis wayang baru yang dinamakan wayang Ukur, yang proses pembuatannya selalu diukur-ukur bentuk tinggi dan panjang pundak wayang-wayang ciptaannya itu. Berkalikali ia mengadakan perubahan-perubahan pada beberapa bagian bentuk wayangnya sampai ia merasa puas akan hasil ciptaanya yang cocok dengan rasa dan jiwa seninya. Dalam mengadakan perubahan perubahan tersebut ia membuat ukuran sendiri, sehingga berdasarkan teknik pembuatannya itu, maka wayang ciptaannya itu dinamakan wayang Ukur. Sunggingan serta tatahan wayang tersebut nampak lain dari wayang purwa biasa dan ini memang merupakan ciri khas dari wayang Ukur ciptaan Sukasman. Dalam pertunjukannya, wayang Ukur menggunakan kelir sebagai tempat memainkan wayang (jagadan wayang).

2.3.2.18 Wayang Mainan (Dolanan)

Wayang sebagai karya seni mencakup seni rupa, seni ketrampilan, dan seni khayal. Harus diakui pula wayang yang konon lahir di India dan kini hidup serta berkembang di Jawa itu, sekarang telah menjadi milik bangsa Indonesia sebagai suatu karya seni tradisional Indonesia. Anak-anak di desa sering dalam menggembalakan ternak meluangkan waktu untuk membuat boneka-boneka wayang dari tangkai-tangkai rumput atau tangkai daun singkong. Dianyamnya beberapa genggam batang rumput atau daun singkong tersebut hingga berbentuk wayang dan dimainkannya dengan berkhayal sebagai seorang dalang wayang yang pernah dilihatnya. Wayang-wayang tersebut biasa dinamakan wayang Suketan (rumput) atau wayang Domdoman (nama jenis rumput), karena rumput yang biasa mereka gunakan untuk membuat wayang tersebut adalah jenis rumput domdoman.

Selain dari bahan rumput atau daun singkong, dapat pula mereka membuatnya dari daun kelapa (blarak), tapi hasil karya wayang- wayang tersebut tidak dapat bertahan lama. Jika diinginkan hasil karya yang dapat bertahan agak lama, biasanya mereka membuat wayang Bambu. Wayang jenis ini dapat dijumpai di daerah Wonosari, Yogyakarta, yang dibuat dari irisan-irisan bambu yang dianyam, sehingga berbentuk boneka wayang. Akan tetapi, kini telah banyak diperdagangkan yaitu wayang yang terbuat dari kardus untuk mainan anak-anak. Wayang kardus ini bahan dasarnya adalah kardus atau karton bekas pembungkus yang di beri warna ala kadarnya dan ditatah sangat sederhana. Maka jelas bahwa wayang-wayang tersebut tidak dapat tahan lama dan mudah rusak.

Di Yogyakarta hingga tahun 1984 masih dapat dijumpai wayang- wayang kardus hasil pengrajin wayang. Wayang-wayang tersebut sering dipakai oleh siswa-siswa dalang atau untuk penguburan tokoh. Wayang yang perlu dikubur atau dihanyutkan di laut (dilabuh) setelah gugur dalam pementasan, antara lain: Kumbakarna, Durna, dan lain-lainnya. Untuk penguburan ataupun labuhan wayang-wayang tersebut diperlukan upacara tersendiri. Wayang sebagai mainan anak-anak pernah pula dijumpai di Yogyakarta tempo dulu, bahkan sampai ke kota Batavia atau Betawi (Betawi = Jakarta) yang terbuat dari singkong, wayang tersebut dinamakan wayang Telo (singkong) di Yogyakarta, wayang Opak (Jakarta) yang terbuat dari parutan telo (ampas singkong) dan dibentuk seperti boneka wayang dan diberi gapit (tangkai wayang) dari bambu.

2.3.2.19 Wayang Batu atau Wayang Candi (856)

Dari uraian di atas, maka terdapatlah suatu dasar dalam pemberian nama jenis wayang yang antara lain karena ceritanya, sehingga wayang tersebut dinamakan wayang Purwa, wayang Menak, ataupun wayang Madya. Bila dilihat dari segi pertunjukannya atau pementasannya dengan membeberkan wayang-wayang tersebut maka wayang itu dapat dinamakan wayang Beber. Sedangkan kalau dilihat dari segi bonekanya, maka wayang itu dapat dibagi menjadi wayang Golek, wayang Kulit, wayang Wong (orang) dan sebagainya. Dengan adanya cerita-cerita wayang yang tergambar secara permanen pada dinding candi sebagai hiasan, maka dikenal orang sebagai wayang Batu atau wayang Candi, yang antara lain terdapat pada candi atau tempat-tempat pemujaan sebagai berikut Candi Prambanan ( + tahun 856), 17 km dari Yogyakarta di tepi jalan raya Yogyakarta – Surakarta, memuat cerita tentang Kresna, Candi Lara Jonggrang ( + tahun 856) dalam kompleks Candi Prambanan, memuat cerita Ramayana, Pemandian Jalatunda, Malang, Jawa Timur ( + 977), memuat cerita Sayembara Drupadi, Gua Selamangkleng di Kediri, Jawa Timur abad ke-X memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Jago di Tumpang, Malang, Jawa Timur ( + tahun 1343), memuat cerita Tantri, Kunjarakarna, Partayadna, Arjuna Wiwaha dan Kresnayana, Gua Pasir di Tulungagung, Jawa Timur, ( + 1350), memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Penataran di Blitar ( + 1197 – 1454), memuat cerita Sawitri dengan Setiawan yang disertai panakawan gendut, dan cerita Ramayana, Candi Tegawang di Kediri ( + 1370), memuat cerita Sudamala, dengan Sadewa yang diiringi panakawan bertubuh gendut dan Durga diikuti oleh dua orang raseksi, Kedaton Gunung Hyang ( + 1370), memuat cerita abad ke-XV, yakni cerita tentang Rama, Bimasuci, Mintaraga, dan cerita Panji, Candi Sukuh dekat Tawangmangu ( + tahun 1440) 36 km dari Surakarta ke arah timur, memuat cerita Sudamala, Gameda, dan Bimasuci.

2.3.2.20 Wayang Sandosa

Sejak tahun 1984 Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang berkedudukan di Sala-Surakarta telah melakukan eksperimen baru dengan pergelaran wayang berbahasa Indonesia. Pentas wayang kulit tersebut dengan sistem pementasan yang menggunakan dua orang dalang atau lebih. Diilhami oleh pementasan wayang kulit Len Nang dari Kamboja, wayang eksperimen PKJT yang disebut wayang Sandosa tersebut, merupakan pergelaran yang tidak jauh berbeda dengan pergelaran wayang kulit biasa. Perbedaannya ialah, bahwa wayang Sandosa menggunakan beberapa orang dalang dan teknik mendalangnya dilakukan dengan cara berdiri, juga latar pakeliran wayang Sandosa dibuat lebih besar dan lebih tinggi dari pada pakeliran wayang kulit biasa.

Dalam pementasan wayang Sandosa yang diselenggarakan selama satu atau dua jam itu, tidak selalu dimulai dengan suluk ki dalang. Bunyi gamelan tidak lagi selaras pada pagelaran wayang kulit umumnya, tapi telah merupakan nada dan irama yang beraneka ragam. Hal tersebut karena cerita yang dipergelarkan dapat dimulai dari suasana perang dan diiringi gending yang berirama gobyog temporer. Walaupun dari segi iringan telah keluar dari aturan-aturam gending tradisional dan atau wayang pada umumnya, justru mempunyai daya komunikasi yang lebih kuat pada kalangan muda. Peragaan wayang dilakukan sambil berdiri di balik layar yang luas dengan sorot cahaya lampu yang berubah-ubah serta berwarna- warni. Untuk memperoleh bayangan yang besar maka ki dalang menggerakkan wayang dengan mendekat ke lampu. Bagaimanapun juga, ternyata wayang Sandosa yang bersifat kolektivitas dengan bentuk mirip teater di balik layar itu, telah menambah khasanah budaya bangsa kita.

2.3.2.22 Wayang Wong (Wayang Orang) (1757 – 1760)

Salah satu pengisian Kebudayaan Nasional pada pergelaran wayang serta untuk meresapi seni dialog wayang (antawacana) dan menikmati seni tembang, K.B.A.A. Mangkunegoro I (1757 – 1795) telah menciptakan suatu seni drama Wayang Wong yang pelaku- pelakunya terdiri dari para pegawai kraton (Abdi Dalem). Menurut K.P.A. Kusumodilogo dalam bukunya yang berjudul Sastramiruda tahun 1930 menyatakan, wayang wong tersebut dipertunjukan untuk pertama kalinya pada pertengahan abad ke-XVIII ( + 1760). Konon wayang ini mendapat tantangan yang hebat, bahkan dengan adanya perubahan bentuk tersebut diramalkan orang kelak akan timbul kesulitan atau celaka dan penyakit, demikian menurut disertasi Dr. G- .A.J. Hazeu di Leiden pada tahun 1897 dengan judulnya Bijdrage tot het Kennis van het Javaansche Tooneel. Ternyata pendapat tersebut adalah tidak benar, karena setelah pergelaran wayang wong ini di tangani sendiri oleh Mangkunegoro V pada tahun 1881, wayang tersebut menjadi hidup kembali.

Sesuai dengan nama atau sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang, melainkan menampilkan menusia-manusia sebagai pengganti boneka wayang. Kini nampak jelas, bahwa jenis-jenis wayang seperti wayang Purwa, wayang Gedog, mendapatkan namanya dari sifat cerita yang ditampilkan, sedangkan wayang Golek, wayang Wong berdasarkan ciri-ciri teknis ataupun bentuk pada boneka-bonekanya. Sebagai seni hiburan, wayang Wong telah tersebar luas dan dibeberapa kota besar telah berdiri perkumpulan-perkumpulan wayang orang dengan berbagai macam nama serta mutunya. Namun umumnya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi wayang tersebut merupakan wayang orang Purwa, karena pementasannya menggunakan cerita epos Ramayana dan Mahabharata serta dengan iringan gamelan Jawa laras Slendro dan Pelog.

Sumber :

Supriyono dkk, 2008, Pedalangan Jilid 1 untuk SMK, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 17 – 38.

http://gurumuda.com

Modernisasi Semu Tarling Dangdut Organ Tunggal



Sungguh kesan dangkal tak terhindarkan dalam “tarian” penyanyi panggung itu. Berbalut T-Shirt gemerlap yang ketat berjaring-jaring laksana rockstar, rok mini hitam pemacu adrenalin, dibantu dengan make-up tebal sebagai penyamar noda di wajah, sang biduanita yang semula tampak kalem mulai menggelinjang begitu musik tarling dangdut itu memasuki reffrain. Eksplorasi diri dan pangung tampaknya menjadi salah satu keunggulan dari sedikit kelebihannya sebagai penyanyi. Dua salon di bagian tengah dan samping panggung menjadi korbannya saat “goyang gergaji patah-patah” dengan posisi satu kaki di atas pengeras suara itu. Tampaklah hotpents hitam di pangkal kaki indah pedangdut berambut pirang itu. Di hadapan panggung, anak-anak kecil beserta beberapa ibu yang berkerudung itu tetap santai menonton sembari menikmati hidangan, bersama para bapak yang sedari tadi matanya tertancap dalam di beberapa bagian daya pikat utama diri bintang panggung pantura itu.

Masyarakat menyebut pertunjukan itu sebagai “organ tunggal”, yang dalam dua dekade terakhir merajai suguhan utama dalam resepsi hajatan, entah itu pernikahan ataupun khitanan. Sebagai sebuah pertunjukan hiburan, pada dasarnya ia terdiri atas instrumen-instrumen live music pada umumnya. Ada beberapa kru panggung, pemain-pemain musik band plus perkusi tradisional dan suling, dan tentunya satu atau beberapa penyanyi yang menjadi garda depannya. Hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pertunjukan ini diidentifikasi sebagai organ tunggal, padahal jikapun hanya ada alat musik tunggal yang bermain, itu hanya keyboard? Dan kenapa pula ada sebutan tarling meskipun musik yang dimainkan jauh dari pakem tarling tradisional?

Salah Identifikasi

Organ pada dasarnya adalah sebuah alat musik tiup yang bunyinya dihasilkan dari dorongan udara yang dipompa dari pipa. Pada organ klasik yang biasa terdapat di gereja-gereja sebagai pengiring liturgi, digunakan semacam pedal untuk menghasilkan bunyi, untuk kemudian diatur oleh tuts keyboard agar menghasilkan resonansi yang harmonis, dan pipa berbagai ukuran untuk menghasilkan tinggi rendahnya nada. Betapa rumit konstruksinya memang, meski itu telah disederhanakan dalam bentuk piano serupa lemari meja belajar yang dipopulerkan Yamaha di Indonesia pada dekade 70-an. Kerumitan konstruksinya berbanding lurus dengan sisi finansialnya. Sehingga tak heran ia kemudian lebih menjadi simbol prestise daripada kelihaian memainkan nada.

Kehadiran teknologi dalam dunia musik kemudian memberi konsekuensi logis pula bagi kreasi musik. Dekade 80-an mulai hadir keyboard combo dengan rhytm box-nya, tanpa ada lemari dan pedal kaki. Bunyi alat-alat musik bisa ditiru dengan nyaris sempurna dan disimpan, untuk kemudian dapat dimainkan kembali. Puncaknya pada akhir milenium ke-2, dengan kehadiran keyboard sebagai synthesizer yang bisa menghasilkan beratus-ratus bunyi tiruan. Pertunjukan musik pun menjadi lebih efisien, karena bunyi-bunyian alat musik modern hingga tradisional telah terrangkum dalam satu alat. Teknologi patern pada alat musik ini selain bisa menyimpan suara imitasi, juga memungkinkan untuk berkreasi dengan irama. Sehingga tak hanya rock, jazz, ataupun pop, tetapi juga memungkinkan untuk mengkreasikan irama yang belum tersedia, seperti dangdut, keroncong, dan irama sunda. Karena keunggulannya itulah kehadiran keyboard digital dalam seni pertunjukan ini semakin mengikis eksistensi seni-seni pertunjukan tradisional yang masih memakai instrumen yang rumit, seperti orkes melayu, dangdut, dan bahkan band.

Dari uraian di atas, sepertinya cukup terang mengenai kesalahan penamaan yang terlanjur beredar di masyarakat pada seni pertunjukan yang menggunakan keyboard elektrik sebagai instrumen musik utamanya. Karena seharusnya bukan bernama “organ tunggal”, tetapi “keyboard tunggal”. Dan pemainnya pun lebih cocok disebut sebagai instrumentalis, atau bahkan bisa saja operator musik, tergantung dari seberapa handalnya ia meramu melodi secara manual tanpa bergantung pada teknologi.

Keterlanjuran dalam kesalahan pun terjadi pada identifikasi musik tarling. Bahwa semua musik pertunjukan yang berirama dangdut berbahasa cirebonan, yang dilakukan grup organ tunggal adalah tarling.

Perspektif sejarah memperlihatkan bahwa tarling merupakan seni rakyat pesisir ujung timur laut Jawa Barat yang berisikan musik dan drama pendek. Meski tak cukup jelas asal-usulnya, kesenian ini mulai menampakkan diri dalam budaya massa di tahun 50-an, melalui acara “Irama Kota Udang” yang disiarkan RRI. Diketahui kemudian bahwa namanya berakar dari akronim gitar dan suling, dua instrumen utama dalam musik ini. Selain kedua alat itu, pertunjukan tarling biasanya diiringi pula oleh saron, gong, perkusi, dan beberapa alat musik gamelan lainnya.

Merajalelanya dangdut di era 80-an membuat musik tradisional pesisir utara ini semakin tersingkir dari popularitasnya. Hal tersebut memaksa para seniman tarling untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar dengan memasukan unsur-unsur dangdut, beserta instrumen modern keyboard tunggal itu ke dalam pertunjukannya. Satu-persatu unsur tradisional dalam tarling tersingkir, yang hingga kini hanya menyisakan lagu berbahasa lokal sebagai cirinya. Strategi itu membuahkan hasil dengan semakin membanjirnya orderan pementasan.

Budaya latah tampaknya sudah mengakar dari dulu, sehingga makin bermunculanlah grup-grup tarling dangdut karbitan, tanpa pernah benar-benar bergelut dan memahami apa sebenarnya tarling itu. Keadaan seperti itu membuat pakem dasar kesenian tarling semakin mengalami distorsi dan bahkan eliminasi. Maka lahirlah kemudian yang dinamakan tarling dangdut kophlo, disco dangdut, pop tarling, yang pada dasarnya merupakan hasil kompromi dengan selera pasar. Apapun istilahnya, musik-musik organ tunggal saat ini tak tepat bila disebut sebagai tarling, karena itu hanyalah dangdut cirebonan.

Selera Rakyat

Tanpa bermaksud menyamaratakan, kecenderungan kesenian yang berkembang di daerah pesisir memang bisa dikatakan sangat selera rakyat. Kembali memandang sisi historis, wilayah pesisir memang sejak era kerajaan Hindhu-Budha berada jauh dari pusat pemerintahan yang juga merupakan pusat kebudayaan. Jarak yang jauh itu memberi efek signifikan dalam hal kontrol kebudayaan yang biasa dilakukan oleh kalangan keraton di pedalaman, sehingga budaya pesisir lama pun tak begitu terkodifikasi.

Salah satu akibat penting dari itu semua adalah bahwa manusia-manusia yang jauh dari pusat kebudayaan itu lebih mengembangkan kebudayaan berdasarkan kecenderungan naluri mempertahankan diri dan kesenangan, bukan karena insting estetis dan spiritual. Contoh kecilnya adalah kesenian ronggeng dan tari tayub, yang pada masa tertentu menjadi primadona pelampiasan sisi hewani manusia, dari kaum jelata hingga para abdi raja.

Fenomena inilah yang beberapa dekade terakhir ini muncul kembali di wilayah pesisir utara jawa, dengan seni tradisional sebagai media tunggangannya. Seperti kesenian tarling, yang atas nama modernisasi kemudian disesatkan secara identitas maupun jiwanya melalui pertunjukan organ tunggal. Ia tak lebih dari pementasan wanita-wanita pemuas dahaga para pria, meski hanya dengan menyawernya dengan beberapa lembar puluhan ribu dan berjoget bersamanya, atau pun curi-curi mencolek, dan bahkan dalam pertunjukan tertentu bisa menyelipkan lembaran-lembaran fulus itu ke bagian atas badan wanita yang menonjol dengan indahnya berbalut kostum tipis itu.

Serupa ronggeng dan tayub di masa lalu, bisa jadi para penyanyi organ tunggal itu hanyalah reinkarnasi Srintil, sang ronggeng primadona desa Dukuh Paruk, yang merelakan tubuhnya atas nama tradisi dangkal dan tuntutan perut. Modernisasi hanya terjadi pada instrumen-instrumen utama itu: keyboard, pengeras suara, dan kostum. Sementara jiwa tradisinya mengalami kemunduran beberapa abad, karena dasar budaya pesisir yang eksploitatif itu tak pernah hilang: sebuah contoh nyata modernisasi semu. Maka jadilah, karena terlanjur menjadi adat, pertunjukan organ tunggal yang sering kali tidak sejalan dengan tujuan acara beserta audiens-nya itu tetap gencar bergema, tanpa ada budaya kritis. Dan kadar feromon para bapak itu pun semakin memuncak…

- Arif Hulwan Muzayyin -

ttp://www.matakita.net

Tarling dan Evolusinya




Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling (Andai banyak berdosa segera bertaubat). Menurut Supali Kasim (2003), dalam bukunya Tarling Migrasi Bunyi dari Gamelan Ke Gitar-Suling, mencatat asal tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada seorang komisaris Belanda yang meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan. Usai diperbaiki, sang komisaris Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan.

Hal itupun dilakukan oleh anak Mang Sakim yang bernama Sugra. Bahkan, Sugra kemudian membuat eksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Karenanya, tembang-tembang (kiser) Dermayonan dan Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi lebih indah dengan iringan petikan gitar. Keindahan itupun semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu.

Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya, seni musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.

Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu patromak (saat malam hari). Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat Balen, maupun Lair Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.

Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya.

Tak hanya Sugra, di Kabupaten Indramayu pun muncul sederet nama yang melambungkan tarling hingga ke berbagai pelosok daerah. Diantara mereka adalah Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah Kamsiyah, Hj Dariyah, dan Dadang darniyah. Dan tahun 1950-an di Kabupaten Cirebon muncul tokoh tarling bernama Uci Sanusi.

Kemudian pada dekade 1960-an muncul tokoh lain yang melambungkan jenis musik ini, yakni Abdul Adjib, dari Desa Buyut, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, dan Sunarto Martaatmadja, asal Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon. Lulut Casmaya dari Kabupaten Majalengka.

Perlu disoroti dalam hal ini, bahwa diantara seniman tarling ini mempunyai basic musik yang berbeda-beda. Jayana banyak dipengaruhi oleh musik gamelan. Uci Sanusi sebelumnya adalah seniman keroncong dan teater. Dan Abdul Adjib banyak dipengaruhi oleh orang tuanya yang mempunyai grup sandiwara. Dan Sunarto (kemudian lebih akrab dipanggil Kang Ato), Pepen Effendi dan Maman S. mengkombinasikannya dengan musik dangdut.

Tarling memang jenis kesenian grass root, tidak lahir dari keraton, musik ini tidak bersifat istana sentris yang memiliki pakem tersendiri atau ritme yang teratur seperti seni yang lahir dilingkungan dalem keraton. Musik ini mengalir seperti air dalam kehidupan masyakatnya. Oleh sebab itu, ia selalu berkembang mengiringi perubahan zaman. Syair-syair dalam tarling selalu menceritakan kisah sehari-hari yang sarat pesan moral, menggambarkan kehidupan masyarakat di pesisir pantura Jawa Barat. Nasehat, pegat-balen (Kawin Cerai), wayuan (Poligami), demenan (cinta), masalah rumah tangga, kebiasaan masyarakat (mabuk, maen, madon—minuman keras, judi, main perempuan), menjadi tema utama dalam lagu-lagu tarling.

Diawal perkembanganya syair tarling lebih mengadopsi pada kiser dermayonan dan cerbonan (sastra lisan semacam pantun). Seperti Jayana dalam kiser manunggal-nya yang masih bisa kita nikmati sampe sekarang. Menceritakan seorang Jayana tak luput dari cerita mengenai kemerduan suaranya, alkisah sewaktu ia tertangkap oleh tentara Belanda, segera ia dijembloskan ke penjara. Selama ia beberapa hari ia mendekam disana. Nasib baik berpihak padanya, kala tentara Belanda sedang bertengkar, mempermasalahkan masalah gitar. Jayana meminta gitar tersebut untuk dimainkannya. Dengan lihai dia petik, alunan melodi indah tarling dan suara khas Jayana menghipnotis tentara. Akhir cerita dia bisa melarikan diri.

Cerita Jayana dan mitosnya memang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Tapi, begitulah adanya cerita yang berkembang di masyarakat. Seniman asal Karangampel Indramayu ini, memang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memainkan gitar dan yang paling dielu-elukan adalah suaranya yang merdu, tinggi, dan ciri khas nada pesisiran.

Syair Nasehat banyak dipopulerkan oleh Hj. Dariyah dalam lagunya seperti, Manuk dara sepasang, Gambaran urip, Pedet nuntun sapi, Pikir-pikir dingin. Atau drama tarling Baridin yang dipopulerkan H. Abdul Adjib yang mengisahkan cerita cinta yang dibumbui mistis dengan pelet “jaran guyang*”, konon bisa membuat hati seseorang bisa tergila-gila. Juga tentang status sosial antara si kaya dan si miskin, diolah secara apik membuat penontonnya hanyut kedalam cerita penuh intrik dan kesedihan, dengan gilanya Suratminah sampe kematiannya gara-gara kemat jaran guyang Baridin yang ditolak cintanya, penolakan lamaran, serta penghinaanya karena ia orang miskin. Mengajarkan bagaimana kita seharusnya memposisikan makna cinta dalam posisinya sebagai cerita bahagia dan arti sesungguhnya—tiada paksaan dan penghinaan, serta juga penghargaan sesama insan.

Dalam dekade selanjutnya dimana musik dangdut dalam masa keemasannya, musik tarling pun tanpa terkecuali ikut terkontaminasi dangdut. Sebagaimana dijelaskan diatas, seniman tarling seperti Kang Ato, Maman, dan Pepen mengawinkanya dengan dangdut, pada saat itulah istilah tarling dangdut populer. Almarhum Yoyo Suwaryo (1955-2002), pada saat itu masih bergabung dengan Hj. Dariyah—tarling Cahaya Muda, mulai meramaikan jagat panggung tarling dangdut. Dimana nantinya ia merajai dunia tarling kala mendirikan Tarling Dharma Muda yang dipimpinnya. Membicarakan tarling kita tak bisa tanpa menghadirkan sosok yang satu ini. Salah satu seniman tarling yang paling produktif dalam menciptakan dan membawakan lagu-lagu tarling. Menurut salah satu mantan punggawanya, dalam satu tahun Tarling Dharma Muda bisa manggung lebih dari 200 panggungan. Walaupun Bukan yang pertama mengenalkan tarling dangdut, semua lagu-lagunya banyak menjadi inspirasi bagi seniman seangkatan dan sesudahnya. Lagunya begitu dilempar dipasaran langsung jadi hits semua. Pantas beliau dijadikan Raja Tarling, mencari seniman tarling sekaliber dia sangat susah dicari tandingannya. Meskipun tidak memiliki keterampilan bermain musik. Namun, insting musik beliau lah faktor utama, bagimana menciptakan musik yang berkelas?

Selepas kepergian almarhum, tarling dangdut mati suri, musik tarling menjelma menjadi organ tunggal sampai sekarang. Seniman seperti Ipang Supendi, Aas Rolani, Dewi Kirana, Nunung Alvi, Wadi Oon, Eddy Zacky, Wulan, Rendy Raundi, Dedi Yohana, menjadi mega bintang idola tarling seantero pantura Jawa Barat.

Tapi satu hal yang pasti, seni tarling saat ini meskipun telah hampir punah. Namun demikian, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura. Dikarenakan tarling adalah jiwa mereka, dengan ikut sawer keatas panggung atau sekedar melihatnya, serta mendengarnya seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.

Karya-karya tarling legendaris:

A. Drama

1. Baridin, karya Abdul Adjib

2. Saedah Saeni, karya Uci sanusi

3. Ajian Semar mesem

4. Kang Ato Ayame Ilang (Gandrung Kapilayu), karya Sunarto MA.

5. Sruet, tarling Cahaya Muda/H. T Ma’mun

B. Kiser Manunggal, karya Jayana.

C. Lagu-lagu hits

1. Warung Pojok, Hj. Uun

2. Kembang Boled, Cipt. Hj. Abdul Adjib

3. Nambang Dawa, Ini Damini

4. Manuk Dara Sepasang, Hj. Dariyah

5. Sulaya janji, Hj, Dariyah

6. Pemuda Idaman, Itih, S

7. Jawa Sunda, Yoyo Suwaryo

8. Mboke Bocah, Yoyo Suwaryo

9. Pengen Dikawin, Dewi Kirana

10. Sewulan Maning, Aas Rolani, dst.

Grup-grup Tarling:

a) Putra Sangkala, pimpinan H. Abdul Adjib

b) Nada Budaya, pimpinan Sunarto martaatmadja

c) Kamajaya Grup, pimpinan Udin Zaen

d) Primadona, pimpinan Pepen Effendi

e) Cahaya Muda, pimpinan H. Ma’mun/Hj.Dariyah

f) Bhayangkara Putra Buana

g) Chandra Lelana, pimpinan Maman Suparman

h) Jaya Lelana, pimpinan Jayana

i) Dharma Muda, pimpinan Yoyo Suwaryo

*Jaran Guyang : Ajian pengasihan untuk memelet seorang yang kita cintai

*Ranggon/jondol : semacem balai tempat santai/gazebo/pos ronda

Sumber : www.wiralodra.com

www.ethnic-unique.blogspot.com,

Republika Edt Saturday, 12 April 2008, “Tarling, Melodi Sarat Pesan Moral”

www.wikipedia.com/tarling

dan berbagai sumber

http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/30/tarling-dan-evolusinya/

Sejarah Kesenian Tarling


Tarling merupakan kesenian khas dari wilayah pesisir timur laut jawa barat (indramayu-cirebon dan sekitarnya). Bentuk kesenian organ tunggal ini pada dasarnya adalah pertunjukan musik, namun disertai dengan drama pendek. Nama “tarling” diambil dari singkatan dua alat musik dominan: gitar akuistik dan suling. Selain kedua instrumen ini, terdapat pula sejumlah perkusi, saron, kempul, gong dan dangdut organ tunggal.

Awal perkembangan tarling tidak jelas. Namun demikian, pada tahun 1950-an musik serupa tarling telah disiarkan oleh rri cirebon dalam acara “irama kota udang”, dan menjadikannya populer. Pada tahun 1960-an pertunjukan ini sudah dinamakan “tarling atau
dangdut organ tunggal” dan mulai masuk unsur-unsur drama.

Semenjak meluasnya popularitas dangdut pada tahun 1980-an, kesenian tarling terdesak. Ini memaksa para seniman tarling memasukkan unsur-unsur dangdut dalam pertunjukan
dangdut organ mereka, dan hasil percampuran ini dijuluki tarling-dangdut organ (atau tarlingdut). Selanjutnya, akibat tuntutan konsumennya sendiri, lagu-lagu tarling di campur dengan perangkat musik elektronik sehingga terbentuk grup-grup organ tunggal tarling organ tunggal. Pada saat ini, tarling sudah sangat jarang dipertunjukkan dan tidak lagi populer. Tarling dangdut lebih tepat disebut dangdut cirebon.


Puluhan Rumah Rusak dan Puluhan Pohon Tumbang, Lalulintas pun Lumpuh

ANDI/"KC"
ANDI/"KC"
DUA buah pohon besar tumbang dikawasan Jl. Siliwangi dan Jl. Kartini Kota Cirebon akibat hujan petir disertai angin kencang sehingga melumpuhkan jalan yang biasa dilalui kendaraan, Senin (1/11).*

CIREBON, (PRLM).- Puluhan rumah rusak dan pohon tumbang akibat hujan dan angin besar yang melanda wilayah Kota Cirebon, Senin (1/11) petang. Selain rumah rusak dan pohon tumbang, banjir juga melanda sebagian wilayah Kota Cirebon. Akibat musibah tersebut, membuat lumpuh hampir semua ruas jalan di wilayah Kota Cirebon.

Puluhan rumah yang rusak berat akibat dihempas angin puting beliung menimpa wilayah RT 04/RW 01 Kebon Baru Utara, Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon. Hampir semua rumah yang rusak, terjadi di bagian atap. Satu rumah milik Kadirun bahkan ambruk.

Menurut Ketua RT setempat, Raspani, musibah tersebut terjadi dengan cepat. Sekitar pukul 17.30 WIB, sejumlah warga sempat menyaksikan datangnya angin yang berputar-putar di wilayah mereka. "Karena takut menyaksikan angin yang berputar-putar, sejumlah warga masuk ke rumah. Namun tidak lama kemudian, atap-atap beterbangan," katanya.

Sejumlah warga yang rumahnya rusak, terpaksa mengungsi ke mushala dan mesjid terdekat, karena sampai Senin malam, hujan masih mengguyur wilayah Kota Cirebon dengan derasnya.

Menurut Wahyu, satu-satunya pemilik rumah yang selamat dari musibah angin puting beliung di wilayah tersebut menyatakan, angin yang berputar-putar tiba-tiba berbelok ke arah lain saat mendekati rumahnya. "Ini benar-benar keajaiban Allah, bahwa rejeki dan musibah benar-benar hanya Allah yang menguasai. Satu sisi saya prihatin dengan bencana yang menimpa tetangga, tetapi di sisi lain saya bersyukur rumah saya terhindar dari musibah," kata Wahyu terbata-bata.

Sampai dengan Senin malam, aparat kelurahan setempat masih terus mendata jumlah rumah yang rusak. Menurut lurah setempat, Affandi, sampai dengan Senin malam pukul 19.30 WIB, jumlah rumah yang rusak sementara sekitar 30-an. "Tapi jumlah pastinya, kami belum tahu karena masih mendata," katanya saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya.

Wali Kota Cirebon Subardi yang meninjau langsung ke lokasi bencana menyatakan keprihatinannya. Subardi berjanji akan membantu warga sesuai dengan anggaran yang tersedia. "Kami akan mendata dan melihat dulu anggaran yang ada untuk bisa meringankan penderitaan warga yang tertimpa musibah," katanya.

Sementara itu, hampir semua ruas jalan di wilayah Kota Cirebon lumpuh akibat tumbangnya puluhan pohon dan sergapan banjir. Puluhan pohon tumbang terutama di ruas-ruas jalan utama yakni yakni Jalan Siliwangi, Jalan Kartini, Jalan Parujakan, Jalan Tentara Pelajar, Jalan KS Tubun satu, Jalan Veteran.

Pohon tumbang di Jalan Veteran bahkan hampir menimpa bangunan SDN Kebon Baru. Sementara di wilayah Cangkring dari belasan pohon yang tumbang, di antaranya ada yang menimpa mobil yang sedang parkir dan rumah.

Sedangkan di sepanjang Jalan Ciptomangunkusumo, selain dilanda banjir, puluhan lembar seng yang dijadikan pagar pembatas projek pelebaran jalan beterbangan.

Banjir juga melumpuhkan lalu lintas di kawasan Perumnas. Banjir setinggi hampir 1 meter menggenangi jalan di kawasan Perumnas. Selain itu, aliran listrik di sejumlah kawasan padam karena kabel putus, akibat tertimpa pohon. (A-92/das)***

http://www.pikiran-rakyat.com

Pohon Tumbang Halangi Jalan Kartini dan Parujakan

POHON TUMBANG
TRIBUN JABAR/IDA ROMLAH
POHON TUMBANG – Selain banjir, hujan deras disertai angin kencang dan petir yang terjadi Senin (1/11/10) sore menyebabkan pohon di pinggir jalan dekat Stasiun Parujakan Cirebon dan di depan Masjid Raya At-Taqwa Jalan Kartini tumbang.

CIREBON, TRIBUN - Selain banjir, hujan deras disertai angin kencang dan petir yang terjadi Senin (1/11) sore menyebabkan pohon di pinggir jalan dekat Stasiun Parujakan dan di depan Masjid Raya At-Taqwa Jalan Kartini tumbang. Akibatnya, jalan terhalang dan kendaraan tak bisa melintas.

Pohon tumbang itu berukuran besar. Karena itu, ketika tumbang langsung menghalangi semua badan jalan.

Selain menghalangi jalan, pohon tumbang di Jalan Kartini juga mengenai kabel listrik hingga putus. Namun aliran listrik di Kota masih tetap normal.

Hingga saat ini, pohon di Jalan Kartini sudah mulai dipotong dan dibereskan. Jalanan pun akan kembali normal.

Sementara hujan hingga pukul 20.00 ini masih terus mengguyur. Namun intensitasnya tak setinggi sore. Angin dan petir pun sudah tidak ada. (roh)