Jumat, 29 Oktober 2010

Kesultanan Cirebon

Kalangan kesultanan di Cirebon meyakini, pendiri Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang. Ia kemudian digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan tersebut. Ayahnya ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja Pajajaran.

Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan erat dengan Demak. Jika di Demak posisi “raja” dan “ulama” terpisah, Sunan Gunung Jati adalah “raja” sekaligus “ulama”. Ia mengenalkan Islam pada masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sunda Kelapa (kini Jakarta) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada 1527.

Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.

Setelah Raden Patah meninggal, begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka, kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan Sultan Trenggono. Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -nama yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.

Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya, Panembahan Ratu. Setelah itu, kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah itu Cirebon terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran Kartawijaya Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC. Posisi Cirebon tinggal sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di tangan VOC.

Sementara itu, Banten justru berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin meluaskan pengembangan Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di Banten tumbuh tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya, Maulana Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).

Pada masa itulah, kapal-kapal Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula para pedagang Cina. Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul Mufakir wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para pedagang Belanda.

Persoalan muncul setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang baru pulang berhaji, Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka berhubungan dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. Para pengikutnya kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di jawa Timur-dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.

Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi, sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana Surosowan dibakar habis pada 1812.

Pada tahun 1887, setelah meledak wabah penyakit anthrax tahun 1880 yang menewaskan 40.000 orang dan letusan Gunung Krakatau 23 Agustus 1883 yang menewaskan 21 ribu jiwa, Kiai Wasid dan para ulama memimpin pemberontakan heroik di Cilegon.
http://ariesgoblog.wordpress.com/2010/10/23/kesultanan-cirebon/

Gua Sunyaragi, Cirebon – Jawa Barat

Jika kita ingin melihat sisa-sisa kejayaan masa lalu keraton Cirebon, mampirlah ke Taman Sunyaragi, atau biasa disebut dengan Gua Sunyaragi..! Aroma kemegahan langsung terasa, begitu kita menjejakkan kaki di pintu masuk Taman Sunyaragi. Susunan batu-batu yang tidak teratur, namum menampakkan kegagahan dan kepongahan taman sari ini, yang merupakan salah satu bagian bangunan kerajaan di masa lalu. Tamansari Sunyaragi adalah salah satu peninggalan sejarah di Kota Cirebon, setelah Keraton-Keraton, seperti Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Masjid Walisangan Ciptarasa.

Letaknya yang berada ditengah-tengah kota Cirebon, yaitu di Jl.Brigjend. A.R.Dharsono, menjadikan bangunan bersejarah ini sangat mudah sekali dijangkau. Barangkali kalau mau bertanya, niscaya hampir seluruh masyarakat kota Cirebon akan mengenalnya.

gua sunyaragiLuas situs ini kurang lebih 1,5 Ha, dan merupakan peninggalan para Sultan Cirebon. Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh oleh Pangeran Kararangen. Sedang Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon sendiri. Tamansari Sunyaragi telah beberapa kali mengalami perbaikan, yang pertama adalah; pada tahun 1852 M yaitu zaman pemerintahan Sultan Syamsudin IV, setelah dilanda kerusakan oleh serangan Belanda pada tahun 1787 M, bangunan ini direnovasi untuk yang pertama kali. Yang kedua adalah pada tahun 1937 – 1938 M pernah dipugar oleh Pemerintahan Belanda yang pelaksanaannya diserahkan kepada seorang petugas Dinas Kebudayaan di Semarang, Krisjnan namanya.

Pada zaman Orde Baru, dimana tengah dilaksanakan pembangunan nasional, maka Pemerintah dalam hal ini Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direkorat Jenderal Kebudayaan, memugar taman ini secara keseluruhannya sejak tahun 1976 sampai tahun 1984. Setelah selesai pemugarannya, pengunjung Tamansari Sunyaragi semakin meningkat, baik kalangan pelajar, mahasiswa, masyarakat umum, maupun wisatawan asing. Dan kondisi sekarang ini, keadaannya cukup memprihatinkan, selain kebersihannya kurang terjaga, rumput ilalang banyak tumbuh disana-sini, juga bangunan-bangunan yang ada mulai terlihat tergerus oleh panas dan hujan.

gua sunyaragiSeperti layaknya sebuah keraton, begitupun dengan Tamansari Sunyaragi, terdiri dari bagian-bagian yang sangat luas dengan fungsinya masing-masing. Bagian pertama adalah Gua Pengawal, gua ini adalah sebagai pusat para prajurit yang bertugas mengawasi keadaan Tamansari. Bagian kedua adalah Bangsal Jinem, tempat ini biasanya dipergunakan sebagai tempat pertemuan tamu-tamu keraton yang mengunjungi tamansari. Bagian ketiga adalah Gua Peteng, gua ini memang keadaannya sangat gelap sekali, makanya dinamakan gua peteng. Dulu, para pangeran dan para sultan banyak lelaku, dan lelaku-lelaku itu biasanya dilakukan di Gua Peteng. Bagian keempat adalah Gedung Penembahan, yang terdiri dari ruang kaputran-tempat bersoleknya para Pangeran, dan ruang Kaputren-tempat bersoleknya para Putri Keraton.

Bagian selanjutnya adalah Balai Kambang, adalah suatu bangunan dengan luas 25 meter persegi, yang menurut ceritanya, bangunan ini zaman dulu dikelilingi oleh air. Sehingga para tamu bisa langsung masuk dari pintu pertama langsung menuju Balai Kambang dengan menggunakan perahu. Kemudian para abdi keraton menyambut tamu yang hadir dengan menabuh gamelan diatas Balai Kambang. Terus menyusuri gua, kemudian kita akan sampai di Gua Padang Ati, adalah tempat semedinya para Pangeran mencari petunjuk Sang Ilahi, terutama jika sedang ada suatu permasalahan. Di sebelahnya adalah Gua kelanggengan, gua ini dipercaya sebagai tempat yang dapat melanggengkan pernikahan keluarga, atau seseorang yang ingin segera mendapat jodoh.

gua sunyaragiSelain gua-gua tersebut di atas, juga terdapat taman-taman yang dipercaya sebagai taman-taman yang sangat indah pada waktu zamannya. Indah karena taman-taman tersebut, nampak dari petilasannya, tersusun sangat rapi dan bernuansa romantis. Terbuka, bisa memandang langit dengan leluasa dan disertai dengan tempat duduk dari batu sebagai tempat bersantai. Taman-taman tersebut adalah; Taman Bajenggi Obahing Bumi; Taman Puteri Bucu dan Perawan Sunti dan Taman Kaputren. Sayangnya ada beberapa bagian yang sudah mulai rusak bahkan lapuk ditelan masa. Seperti sisi utara tamansari ini dinding-dindingnya retak-retak, bahkan bisa membahayakan para pengunjung kalau kerikil-kerikil yang menempel pada temboknya jatuh dan mengenai salah satu anggota tubuh kita.

Beberapa sudut gua juga banyak sekali sarang nyamuk, menunjukkan bahwa tempat ini jarang dibersihkan. Namun dari segala kekurangan tempat ini, Tamansari tetap mempunyai daya tarik untuk dikunjungi, mengingat bangunan ini mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi sebagai warisan budaya Bangsa Indonesia untuk generasi masa depan.
http://onlinetourservices.com/2010/10/04/gua-sunyaragi-cirebon-jawa-barat/

Sejarah Silsilah Kesultanan di Cirebon

Oleh : Elang Bagoes CHandra KusumaNingrat

Syarif Hidayatullah atau yang sering disebut dengan Sunan Gunung Jati merupakan salah satu anggota Wali Songo; penyebar agama Islam di Jawa di era Majapahit akhir. Dia adalah seorang raja (pemimpin rakyat), sekaligus wali (pemimpin spiritual, muballigh, da’i) dan sufi.

Dia adalah Putra dari Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’iliyah Arab Saudi –bukan dari Aceh. Dia juga bukan Fatahillah atau Faletehan seperti yang disebut-sebut dalam sebagian catatan sejarah. Faktanya adalah terdapat makam Fatahillah (Ki Bagus Pasai) di sisi makamSunan Gunung Jati. Lagipula, Sunan Gunung Jati hidup di era Raden Patah, Sultan Demak pertama. Sedangkan Fatahillah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sultan Demak ke-3 setelah Dipati Unus.

“Gunung Jati sebagai pengguron Islam cirebon”, “Pertamanan Gunung Sembung”, “Sunan Gunung Jati bukan Fatahillah”, “Komplek pemakaman Gunung Sembung”,

Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran

Gunung Jati yang terletak di tepi pelabuhan Muara Jati sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari manca negara. Penguasa negerinya sangat bijaksana, adalah Ki Gede Surawijaya dengan syahbandar bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati yang juga santri di Pengguron Islam Syekh Quro’ Krawang. Pedagang banyak yang datang dari Cina, Gujarat (barat India), dan Arab yang berdagang sambil berdakwah Islam. Lambat-laun, terjadi evolusi perubahan agama dari Budha ke Islam.

Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin Syekh Idlofi Mahdi. Oleh Ki Surawijaya, Syekh Idlofi diijinkan menetap dan tinggal di kampung Pasambangan yang terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron Islam. Muridnya diantaranya adalah Raden Walangsungsang dan adiknya, Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang Geulis. Keduanya adalah putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Mas Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Karena pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh Idlofi juga disebut Syekh Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”) atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari atau menyiarkan Gunung Jati”).

Setelah dianggap mumpuni, Walangsungsang bersama adik dan istrinya diperintahkan oleh Syekh Idlofi agar membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan Gunung Jati Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang dan Walangsungsang diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki Pangeran Cakrabuana.

Pedukuhan itu berkembang pesat. Banyak pedagang membuka pasar dan kemudian menetap di pedukuhan itu. Karena multi ras, maka nama Tegal Alang-Alang lambat-laun luntur menjadi Caruban (pertautan). Di samping itu, nama ini disebabkan karena sebagian besar warganya bekerja sebagai pencari ikan dan mmebuat petis dari air udang yang dalam bahasa Sunda disebut “Cai Rebon”, maka lama-lama menjadi Cirebon.

Atas perintah Syekh Nurjati, Cakrabuana dan Rarasantang pergi ibadah haji, sementara istrinya yang lagi mengandung tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki Pengalang-Alang (Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah bernama Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Rarasantang kemudian berganti nama Syarifah Muda’im. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah

Sekitar tahun 1456 M, Cakrabuana pulang kampung. Pedukuhan Caruban yang berkembang pesat kemudian diganti namanya menjadi Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh Prabu Siliwap>

Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Nurjatii, Cakrabuana membangun tempat peristirahatan yang disebut pertamanan Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati, jaraknya sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya berikut keturunannya.

Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai pembesar Kota Isma’iliyah . Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana, keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai penerus Pangguron Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi sudah wafat.Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya, Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau Sunan.

Di awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah sowan ke kakeknya, Prabu Siliwangi sekaligus mengajak untuk memeluk agama Islam. Namun, Sang Prabu menolak, tapi tetap mengijinkan cucunya untuk menyebarkan Islam di wilayah Pajajaran. Dia kemudian mengembara ke Banten. Di sana, dia disambut dengan baik, bahkan dinikahkan dengan putri Adipati Banten, Nyi Ratu Kawungaten. Dari pernikahan ini lahirlah Nyi Ratu Winaon dan Pangerang Sabakingking.

Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di Kerajaan Demak yang baru berdiri 1478M. Dia kemudian diundang ke Demak dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama Rasul” di tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah Kesultanan Pakungwati dengan gelar Sultan. Karena merasa mendapatkan dukungan dari Demak, Cirebon tidak lagi mau membayar upeti -sebagai bukti ketundukan- pada Pajajaran. Marahlah Prabu Siliwangi. Dikirimlah 60 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk menangkap cucunya. Tapi usaha ini sia-sia. Pasukan Pajajaran itu berhasil dilumpuhkan oleh Cirebon. Mereka menyerah bahkan bergabung dengan Cirebon. Wilayah Cirebon semakin luas. Negeri-negeri yang sebelumnya di bawah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga dan Singapura melebur bergabung dalam kedaulatan Cirebon.

Pembauran multi ras terjadi di Cirebon. Kakak Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati) -kakek Sunan Gunung Jati, Nyi Rara Rudra menikah dengan saudagar Tiongkok/Cina, Ma Huang yang kemudian bergelar Ki Dampu Awang. Oleh Kaisar Tiongkok, Sunan Gunung Jati dijadikan menantu dinikahkan dengan Ong Tien (1481M), yang kemudian ganti menjadi Nyi Ratu Rara Sumanding. Pernikahan ini dilakukan setahun setelah Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun (1480M).

Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat. Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak untuk mempertahankan Sunda Kelapa.

Dengan dibantu pasukan Cirebon, Fatahillah mampu memukul mundur Pajajaran yang berkolaborasi dengan Portugis. Mereka bisa diusir dari Sunda Kelapa di tahun 1522M. Banten di bawah kendali Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati juga memberikan dukungan yang hebat. Karena keberhasilan Fatahillah dalam memimpin Sunda Kelapa, maka ia juga disebut Kyai Bagus Pasai. Hanya beberapa bulan saja, Fatahillah kemudian kembali ke Cirebon -alasan utamanya adalah ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati dalam rangka memperluas wilayah Isllam ke negeri-negeri sekitar Cirebon (seperti: talaga, Rajagaluh). Padat saat yang bersamaan, Sunan Gunung Jati menikah lagi dengan Nyi Ageng Tepasari putri Ki Ageng Tepasan, seorang mantan pembesar Majapahit. Hal ini karena Nyi Pakungwati meninggal -tidak punya anak- dan Nyi Ong Tien juga tidak dikaruniai anak. Dari perkawinan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang kelak akan menggantikannya.

Selesai penaklukan negeri sekitar, Fatahillah menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu. Bupati Jayakarta diserahkan ke Ki Bagus Angke. Pangeran Pasarean naik menggantikan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan ke-2 Cirebon dengan penasehat politiknya, Fatahillah. Pangeran Sabakingking dinobatkan sebagai Sultan Banten pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin. Tahun 1552M, Pasarean meninggal mendahului ayahnya. Karena anak-anaknya masih kecil, Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat anak angkatnya, Aria Kamuning sebagai Sultan ke-3 Cirebon dengan gelar Dipati Cirebon I. Menikah dengan Nyi Ratu Wanawati putri Fatahillah, Aria Kamuning dikaruniai empat putra, yaitu: Nyi Ratu Ayu, Pangeran Mas, Pangeran Manis dan Pangeran Wirasaba.

Tahun 1568M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun. Dua tahun kemudian Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam secara berdampingan dan tidak diperantarai apapun. Ini menjadi bukti bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda.

Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim (Panembahan Girilaya), Mataram yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I) mengundang menantunya itu untuk datang ke Mataram. Bersama istri dan kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke Mataram. Karena kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon. Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M), sedang kedua putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten, An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh. Badridin, dan Pangeran Wangsakerta diberi bagian Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun 1667M. Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar Sultan.

Berikut adalah silsilah raja-raja Cirebon:

SILSILAH SULTAN KERATON KASEPUHAN
# Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
# Pangeran Pasarean
# Pangeran Dipati Carbon
# Panembahan Ratu
# Pangeran Mande gayam Dipati Carbon
# Panembahan Girilaya

Para Sultan :

1. Sultan Raja Syamsudin
2. Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
3. Sultan Sepuh Raja Jaenudin
4. Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
5. Sultan Sepuh Safidin Matangaji
6. Sultan Sepuh Hasanudin
7. Sultan Sepuh I
8. Sultan Sepuh Raja Samsudin I
9. Sultan Sepuh Raja Samsudin II
10. Sultan Sepuh Raja Ningrat
11. Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
12. Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
13. Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
14. Sultan Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat

SILSILAH SULTAN KERATON KANOMAN

# Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
# Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
# Panembahan Sedang Kemuning
# Panembahan Ratu Cirebon
# Panembahan Mande Gayem Di pati carbon
# Panembahan Girilaya

Para Sultan :

1. Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
2. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
3. Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
4. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
5. Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
6. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
7. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
8. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
9. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
10. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
11. Sultan Kanoman XI (Sultan H Muhamamad Jalalludin)
12. Sultan Kanoman XII ( Sultan H Muhammad Saladin )

SILSILAH SULTAN KERATON KACIREBONAN

# Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
# Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
# Panembahan Sedang Kemuning
# Panembahan Ratu Cirebon
# Panembahan Mande Gayem Di pati carbon
# Panembahan Girilaya

Para Sultan :

* Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
* Sultan Anom Alimudin
* Sultan Anom Moh Kaerudin
* Sultan Carbon Kaeribonan
* Pangeran Raja Madenda
* Pangeran Raja Denda Wijaya
* Pangeran Raharja Madenda
* Pangeran Raja Madenda
* Pangeran Sidek Arjaningrat
* Pangeran Harkat Nata Diningrat
* Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
* Pangeran Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga

RAMA GURU-GURU PENGGURON THAREKAT CIREBON

* SYEKH NURJATI
* K. H. ABDUL IMAM P.CAKRABUANA
* Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
* Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
* Panembahan Sedang Kemuning
* Panembahan Ratu Cirebon
* Panembahan Mande Gayem Di pati carbon
* Panembahan Girilaya
* Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)

Hal-hal unik tentang pemakaman Gunung Sembung ini adalah:

Pertama, pemakaman tersebut dibagi dalam 9 pintu untuk menuju makam Sunan Gunung Jati di bagian tertinggi. Masyarakat awam dengan alasan keamanan hanya diperbolehkan ziarah sampai di depan pintu ke-3.

Kedua, untuk penziarah Tionghoa, disediakan ruangan khusus bagian barat serambi muka.

Ketiga, tiga kali seminggu makam-makam tersebut dibersihkan dan diperbarui bung-bunganya oleh para juru kuncen. Secara rutin pintu Selamatangkep (pintu ke-2) yang membuka pemandangan ke cungkup makam Sunan Gunung Jati dibuka setiap Jum’at. Dan juga dibuka setiap pergantian petugas pada sore hari setiap setengah bulan. Pada saat terbukanya pintu inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh pengunjung umum untuk bisa melihat makam Sunan Gunung Jati.

Keempat, juru kuncen makam berjumlah 108 orang yang berprofesi secara turun-temurun. Mereka berasal dari Keling (Kalingga) -kira-kira Kediri, Jawa Timur saat ini.

Berikut denah komplek pemakaman Gunung Sembung:

Keterangan denah makam:

1. Sunan Gunung Jati, 2. Fatahillah, 3. Syarifah Muda’im, 4.Nyi Gedeng Sembung (Nyi Qurausyin), 5. Nyi Mas Tepasari, 6. Pangeran Cakrabuana, 7. Nyi Ong Tien, 8. Dipati Cirebon I, 9. Pangeran Jakalelana, 10. Pangeran Pasarean, 11. Ratu MAs Nyawa, 12. Pangeran Sedang Lemper, 13. Komplek Sultan Panembahan Ratu, 14. Adipati Keling, 15. Komplek Pangeran Sindang Garuda, 16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I), 17. Ki Gede Bungko, 18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas), 19. Komplek Sultan Moh. Badridin, 20. Komplek Sultan Jamaludin, 21. Komplek Nyi Mas Rarakerta, 22. Komplek Sultan Moh. Komarudin, 23. Komplek Panembahan Anom Ratu Sesangkan, 24. Adipati Awangga (Aria Kamuning), 25. Komplek Sultan Mandurareja, 26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin, 27. Komplek Sultan Nurbuwat, 28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiudin, 29. Komplek Sultan Saifudin Matangaji
PINTU SEMBILAN:I. Pintu Gapura, II. Pintu Krapyak, III. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Ratnakomala, V. Pintu Jinem, VI. Pintu Raraoga, VII. Pintu Kaca, VIII. Pintu Bacem, IX. Pintu Teratai

Sumber : http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=163864573639416

Kamis, 28 Oktober 2010

Sintren Kesenian Cirebon

Cirebon bayak sejarah yang kita belum tau walau kita sendiri orang cirebon :roll: dari jaman kejaman kesenian cirebon hampir punah dengan masuknya budaya barat, disini mari kita menengok sejarah Kesenian sintren .

Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang luhur. :arrow:

Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi mahluk langka bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang untuk sekedar dijadikan obyek penelitian dan maksud maksud tertentu lainnya yang tentu saja akan beraneka ragam.

Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, tepatnya di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean.

Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam pertunjukan ini.

Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan Cirebon, asal mula lahinrya sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,” ujar Juju.

Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan.

Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan keliling kampung untuk manggung dimana saja, dan ternyata dari hasil keliling tersebut mereka mendapatkan uang saweran yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren menjadi obyek mencari nafkah hidup.

HARUS GADIS

Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek.

Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini :

Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.

Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,

Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana

Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.

Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca do?dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :

Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru

Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam.

Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.

Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu ya, pokoknya kalau ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti pingsan, sudah dari sononya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar seorang pawang, Mamang Rana pada penulis.

Ketika hal ini ditanyakan pada Sintrennya, Kartini (20), usai pertunjukan, mengaku tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat diatas panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar dengan benda kecil.

Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Seorang mantan Sintren yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi Sintren dan benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran tuntutan pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.

Pada Festival Budaya Pantura Jabar yang berlangsung di Cirebon belum lama ini, kesenian Sintren sempat dipentaskan di lapangan terbuka Kejaksan, Pertunjukan benar-benar menjadi perhatian masyarakat setempat, publik seni dan para pengamat seni. Konon Sintren akan dipentaskan sepanjang Festival berlangsung hingga bulan September 2002 mendatang, di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi dan Karawang.

Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.

Sayang sekali, di Cirebon hanya ada dua grup Sintren yang masih eksis dan produktif, masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cangkol Tengah (aslinya ditulis cingkul padahal sebenarnya Cangkol, hehehe maklum putra daerah) , Gang Deli Raya, Cirebon, Jawa Barat. Kedua kelompok ini sering diundang pentas di berbagai kota di indonesia, bahkan menurut Ny. Juju sampai ke luar negeri.

Di sisi lain tentu hal ini merupakan perkembangan yang bagus, namun di sisi lain juga hal ini tantangan berat bagi pewaris Sintren untuk tetap menjaga orsinilitasnya.

http://www.bloggercirebon.com/sintren-kesenian-cirebon.html


Makam Keramat Cirebon

Makam Sunan Gunung Jati
dihiasi dengan keramik buatan Cina Jaman Dinasti Ming. Di Komplek Makam ini disamping tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati. Lokasi ini merupakan komplek bagi keluarga Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon. Makam Sunan Gunung Jati terletak di Astana, Kec. Gunung Jati Kab. Cirebon. hanya sekitar kurang lebih 3 Km sebelah utara Kota Cirebon.
Kawasan Makam Sunan Gunung Jati memiliki lahan seluas 5 hektare. selain tempat utama untuk peziarah, kawasan ini juga dilengkapi tempat pedagang kaki lima , alun - alun, lapangan parkir dan fasilitas umum lain. kawasan makam Sunan Gunung Jati terdiri dari dua komplek Makam. Yang utama ialah komplek Makam sunan Gunung Jati, di Gunung Sembung terdiri dari 500 Makam, letaknya disebelah Barat Jalan Raya Cirebon - Karangampel - Indramayu. yang satu lagi yakni komplek Makam Syekh Dathul Kahfi di Gunung Jati, berada di timur Jalan Raya.
Terletak 9 Km dari Ibukota Cirebon ke arah utara (di Desa Trusmi, Kec. Weru). Makam Ki Buyut Trusmi yaitu salah seorang Tokoh penyebar Agama Islam di Wilayah Cirebon.

Makam Nyi Mas Gandasari
Salah seorang murid Syekh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran Agama Islam, terkenal dengan kemampuanh ilmunya yang tiada tanding. Terletak di Desa Pangurangan Kecamatan Pangurangan atau 27 Km dariIbukota Sumber.

Makam Syekh Magelung Sakti
Merupakan salah satu seorang Pendekar yang dapat mengalahkan Nyi Mas Gandasari dan disegani karena disamping seorang Pendekar juga, beliau juga dikenal sebagai seorang yang berjasa dalam penyebaran Agama Islam ditanah Cirebon. Makam beliau terletak di Desa Karang Kendal Kecamatan Kapetakan, 21 Km dari Ibukota Sumber.

Makam Talun
Disini tempat dimakamkannya Mbah Kuwu Cirebon yaitu salah seorang pimpinan tertinggi di wilayah Cirebon. Disamping sebagai Tokoh Masyarakat, beliau jg sangat disegani dalam ilmu pengetahuannya. sehingga sampai saat ini masih banyak diziarahi oleh Masyarakat Cirebon. Terletak di Desa Cirebon Girang Kecamatan Cirebon Selatan 5 Km dari Pusat Ibukota Sumber.

GUA SUNYARAGI
Pentilasan arsitektur purba terdapat di Gua Sunyaragi sekitar 4 Km dari pusat Kota dan dapat ditempuh dengan segala jenis kendaraan dalam waktu 15 Menit. Tempat ini dahulu merupakan tempat melakukan meditasi para Sultan Cirebon. Oleh Pemerintah Daerah, tempat ini telah dilengkapi dengan suatu panggung terbuka untuk pertunjukan pagelaran seni atau sendratari.
http://contemplationkelapadua.blogspot.com/2010/07/makam-keramat-cirebon.html

Tradisi Sedekah Bumi Cirebon

Masyarakat pantai utara Cirebon, yang terkenal dengan udang dan petisnya, bermata pencaharian utama bertani dan melaut sejak zaman dulu sudah berkembang. Dalam usaha bertani dan melaut pada zaman sebelum Islam, mereka terikat keparcayaan agama nenek moyang. Pada masa itu masyarakat percaya kepada dewa penguasa bumi, dewa penguasa laut, dan sebagainya. Mereka menganggap para dewa itu sebagai sesembahan. Keyakinan atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya.

Ketika Islam masuk, tradisi itu sangat mendapatkan perhatian. Kepercayaan akan dewa-dewa digantikan dengan iman kepada Tuhan. Menurut Islam, hanya Allah yang patut disembah. Sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali caranya, tetapi diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk upacara baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482–1568 M), tempatnya di Puser Bumi.

Puser Bumi adalah sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali Sanga. Mengenai kedudukan Puser Bumi, ada penjelasan bahwa setelah Sunan Ampel wafat pada 1478 M, dipindahkan dari Ampel (Jawa Timur) ke Cirebon yang letaknya di Gunung Sembung—sekarang disebut Astana Gunung Jati.

De nika susuhan jati, hana ta sira maka purohitaning sakwehnya Dang Accaryagameslam rat jawa kulwam, mwang para wali ing jawa dwipa, muwah ta sira susuhan jati rajarsi. Susuhan jati adalah pimpinan para guru agama islam di Jawa Barat dan pimpinan para wali di Pulau Jawa, beliau adalah raja resi (PNK oleh P. Wangsakerta 1677 M sarga IV halaman 2). Upacara adat sedekah bumi dilaksanakan pada cawu ke 4 (bulan oktober) setiap tahunnya.

Tradisi ini dilaksanakan hampir di seluruh desa-desa di Cirebon, misalnya yang masih kuat melaksanakan tradisi ini adalah Desa Astana Gunung Jati yang termasuk kedalam kecamatan Gunung Jati sekarang. Sebagai pelaksananya adalah Ki Penghulu serta Ki Jeneng Astana Gunung Jati berikut para kraman. Pelaksana adat juga didukung oleh para pemuka masyarakat dan tokoh agama di desa-desa yang berkaitan dengan Keraton Cirebon, mereka disebut Prenata. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu mengambil ikan dari balong milik keraton di beberapa daerah (masih ada di desa Pegagan) oleh Ki Penghulu bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata dan para pemuka adat lainnya, dalam Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah bumi.

Maka sejak ditetapkannya hari pelaksanaan itu, disebarkanlah secara getok tular kepada seluruh penduduk bahwa akan diadakan Sedekah Bumi, melalui para pemuka adat penduduk mengirimkan “Gelondong Pengareng-areng”. Gelondong Pengareng-areng adalah penyerahan secara sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya. Biasanya berupa hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah seperti ubi kayu, kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil tanaman di atas tanah seperti buah-buahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak seperti Ayam, Itik, Kambing, Kerbau, Sapi, dsb. Juga bagi mereka yang yang berusaha sebagai nelayan, mengirimkan hasil tangkapannya dari laut sebagai rasa syukur dan berbakti kepada kanjeng sinuhun. Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan karena paksaan atau peraturan tertentu, tetapi karena kesadaran penduduk itu sendiri dan kemudian dijadikan hukum adat yang aturan-aturan tidak tertulis.

Kaitannya dengan upacara Sedekah Bumi

Pelaksanaan yang merupakan tradisi masyarakat Cirebon ini sebenarnya merupakan Larungan dan Nadran yang kemudian disebut sedekah Bumi sangatlah begitu sakral dan memiliki nilai-nilai spiritualitas yang tersembunyi disela-sela acara ritual pelaksanaan pesta rakyat, sekaligus pembuktian adanya ajaran islam yang mengilhami pelaksanaanya. Termasuk dalam pakaian yang digunakannya, kuwu (kepala desa) menggunakan Iket (blangkon), baju takwa lurik dasar kuning, kain panjang, sumping kembang melati, memegang Teken (Tongkat paling tinggi ± 60 cm). Ibu Kuwu berbaju kurung, kain panjang, sumping melati, gulung kiyong, selendang jawana.

Upacara adat Sedekah Bumi ditandai dengan Srakalan, pembacaan kidung, pencungkilan tanah, kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dengan segala bentuk pertunjukan yang berlangsung di Alun-alun Gunung Sembung, misalnya kesenian rentena, reog, genjring, terbang, brahi, berokan, barongan, angklung bungko, wayang, bahkan sekarang ini ado pertunjukan tarling modern organ tunggal. Dalam pertunjukan wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini adalah Bhumi Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan. Dalam lakon Bhumi Loka diceritakan tentang dendam Arjuna atas kematian ayahnya yaitu prabhu Nirwata Kwaca. Terjadilah peperangan dengan putra Pandawa yang dipimpin Gatotkaca. Prabu Kresna dan Semar mengetahui putra Gatotkaca mendapat kesulitan untuk dapat mengalahkan mereka, bahwa para putra manik Iman-imantaka tidak dapat mati selama menyentuh bumi. Maka semar menasehatkan agar dibuatkan Anjang-anjang di angkasa, dan menyimpan mereka yang telah mati agar tidak dapat menenyentuh bumi. Prabu Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk membuat Anjang-anjang tersebut di angkasa dan menyerang mereka dengan ajian Bramusti. Mereka semua akhirnya terbunuh oleh Gatotkaca , diatas Anjang-anjang yang telah dipersiapkannya. Bhumi Loka mati terbunuh kemudian menjadi Gludug lor dan Gludug kidul. Lokawati terbunuh menjadi Udan Grantang. Loka Kusuma terbunuh menjadi Kilap, loka sengara mati terbunuh menjadi Gledeg dan Lokaditya mati terbunuh menjadi Gelura. Habislah para putra Manik Imantaka terbunuh oleh Gatotkaca dan kematian mereka menjadi penyebab datangnya musim penghujan.

Dari mitos cerita di ataslah maka Sedekah Bumi dijadikan oleh kepercayaan masyarakat untuk menyambut datangnya musim penghujan.

Namun dasawarsa terakhir ini nampaknya makna dari Sedekah Bumi sudah bergeser dari makna awal. Selain menjadi upacara Ceremony rutinitas biasa sekarang Sedekah Bumi menjadi daya tarik pariwisata oleh pemerintah. Terbukti dari banyaknya pengunjung yang datang setiap diadakaanya Sedekah Bumi, yang maksud dan tujuannya pun berbeda pula. Namun, paling tidak tradisi ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut Plato tata masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak mengalami perubahan terhadap pengaruh luar yang bisa merubahnya. Plato lebih mendambahkan konservasi dari pada perubahan.

Tradisi membentuk kehidupan yang ideal

Tradisi dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun kehidupan yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan Budaya juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah, kritis, dan teknologi. Seperti halnya dengan tradisi, termasuk kedalam salah satu kebudayaan daerah yang harus kita lestarikan. Oleh karena, salah satu upaya yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini adalah dengan menjadikan sejarah dan budaya sebagai muatan lokal dalam kurikulum, mulai dari tingkat SD, SMP, bahkan sampai ketingkat SMA. Harapannya adalah agar tidak membiarkan dinamika kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan ditandai munculnya budaya-sandingan (Sub Culture) atau bahkan budaya tandingan (Counter-Culture) yang tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, sebab dengan terbengakalainya pengembanagan kebudayaan bisa berakibat terjadinya kegersangan dalam proses pengalihannya dari satu generasi kegenarasi bangsa selanjutnya. Selain itu juga tujuan lain dari pelestarian ini paling tidak akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis serta merasa memiliki bahwa Cirebon sebagai pusat peradaban sejarah dan budaya Islam ditanah jawa.

Pengenalan terhadap beberapa situs dan benda cagar budaya dikalangan pemuda juga sangat memperihatinkan, padahal Cirebon sangat kaya sekali akan situs dan kebudayaannya seperti, situs keraton, situs makam Sunan Gunung Jati dan beberapa situs yang menjadi petunjuk akan perkembangan Islam di tatar Jawa. Apalagi Cirebon sebagai kota budaya dan pariwisata diharapkan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tradisi dan budaya khas Cirebon baik yang melekat pada masyarakat Cirebon, untuk dikemas menjadi komoditi pariwisata dalam skala regional, nasional maupun internasional. Selain itu juga Cirebon sebagai kota industri, yang berlatar belakang sejarah budaya dan tradisi diharapkan akan berkembang menjadi industri kecil padat kaya (kerajinan, tradisional) yang berorientasi ekspor, sehingga berkembang industri pariwisata sebagai pendukung kota budaya dan pariwisata.

Pelestarian tradisi ini akan menjadikan kehidupan masyarakat yang masih menghormati tradisi leluhur dan tetap akan melestarikannya seperti kata ini Ketahuilah, bahwa yang terpenting bukan hanya “bagaimana belajar sejarah”, melainkan “bagaimana belajar dari sejarah”. Soekarno menegaskannya dengan istilah: “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Bahkan, seorang Cicero begitu menghargai sejarah dengan menyebutnya sebagai “Historia Vitae Magistra” (Sejarah adalah Guru Kehidupan), sedangkan Castro berteriak dengan lantang di pengadilan: “Historia Me Absolvera !!!” (Sejarah yang akan Membebaskanku!!!). Haruskah kita menyingkirkan sejarah?, bored with history?, hated social scientific history?….

Penulis adalah Pegiat Lingkar Studi Sastra (LSS) Cirebon

dijukut sing http://lingkarsastra.blogspot.com kesuwun Kang…

http://blesak.wordpress.com/2010/09/25/tradisi-sedekah-bumi-cirebon/

Sejarah Tari Topeng



Menulis tentang keberadaan seni Tari Topeng Cirebon dengan kaitannya di dalam Keraton Cirebon, maka tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah berdirinya Penguasa Islam di daerah pesisir ini.

Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai Pimpinan Islam di Cirebon, maka datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan Cirebon di Jawa Barat. Tokoh pelakunya adalah Pangeran Welang dari daerah Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memiliki pusaka sebuah pedang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya tidak ada yang bisa menandingi kesaktian Pangeran Welang. dalam keadaan kritis maka diputuskan bahwa utnuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga maka terbentuklah team kesenian dengan penari yang sangat cantik yaitu Nyi Mas Gandasari dengan syarat penarinya memakai kedok/topeng.Mulailah team kesenian ini mengadakan pertunjukan ke setiap tempat seperti lazimnya sekarang disebut ngamen. dalam waktu singkat team kesenian ini menjadi terkenal sehinga Pangeran Walang pun penasaran dan tertarik untuk menontonnya. Setelah pangeran Walang menyaksikan sendiri kebolehan sang penari, seketika itu pula dia jatuh cinta, Nyi Mas Gandasari pun berpura - pura menyambut cintanya dan pada Saat Pangeran Walang melamar maka Nyi Mas Gandasari minta dilamar dengan Pedang Curug Sewu. Pangeran Walang tanpa pikir panjang menyerahkan pedang pusaka tersebut bersamaan dengan itu maka hilang semua kesaktian Pangeran Walang.Dalam keadaan lemah lunglai tidak berdaya Pangeran Walang menyerah total kepada sang penari Nyi Mas gandasari dan memohon ampun kepada Sunan Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberi ampun dengan syarat harus memeluk agama Islam. Setelah memeluk agama Islam Pangeran Walang dijadikan petugas pemungut cukai dan dia berganti nama menjadi Pangeran Graksan. Sedangkan para pengikut Pangeran Walang yang tidak mau memeluk agama Islam tetapi ingin tinggal di Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk menjaga keraton - keraton Cirebon dan sekitarnya.

( Cerita ini diambil dari buku Babad Cirebon Carang Satus dan pernah dipentaskan melalui pagelaran Wayang Golek Cepak oleh Dalang Aliwijaya di Keraton Kacirebonan Cirebon ).

Melihat keberhasilan misi kesenian topeng bisa dijadikan penangkal serangan dari kekuatan - kekuatan jahat maka pihak penguasa Cirebon menerapkan kesenian topeng ini untuk meruat suati daerah yang dianggap angker. Dan kelanjutannya kesenian topeng ini masih digunakan di desa - desa untuk upacara ngunjung, nadran, sedekah bumi dan lain - lainnya.

Setelah masyarakat menerima tradisi meruat itu, di samping harus ada pagelaran wayang kulit juga harus menampilkan tari topeng, maka tumbuh suburlah penari - penari topeng di Cirebon. Namun yang mula - mula menarikan tari topeng ini kebanyakan para dalang wayang kulit yang sebelum pentas wayang, pada siang hari sang dalang harus menari topeng terlebih dahulu. Oleh karenanya para dalang wayang kulit yang lahir sebelum tahun 1930 diwajubkan untuk mendalami tari topeng terlebih dahulu sebelum menjadi dalang wayang kulit. Dalam hubungannya pihak keraton selalu melibatkan kesenian untuk media dakwah dalam penyebaran agama Islam, dan pihak keraton memberikan nama Ki Ngabei untuk seniman yang juga berdakwah.

Kesenian tari topeng Cirebon menjalankan sisi dakwah keagamaan dengan berpijak kepada tata cara mendalami Islam di Cirebon yang mempunyai 4 (empat) tingkatan yang biasa disebut : Sareat, Tarekat, Hakekat dan Ma'ripat.

Sumber : http://carubannagari.blogspot.com

SEJARAH MOTIF BATIK MEGA MENDUNG CIREBON

Motif Mega Mendung
Motof Mega Mendung dalam Fashion Show

SALAH satu motif batik Megamendung yang menjadi khas Cirebon Khususnya Daerah Trusmi. Motif yang merupakan akulturasi dengan budaya Cina itu, kemudian dikembangkan seniman batik Cirebon sesuai cita rasa masyarakat Cirebon yang beragama Islam.

SEBAGAI suatu karya seni, megamendung identik dan bahkan menjadi ikon batik pesisiran Cirebon. Batik ini memiliki kekhasan yang tidak dijumpai di daerah-daerah pesisir penghasil batik lain di utara Jawa seperti Indramayu, Pekalongan, maupun Lasem.

Kekhasan megamendung atau “awan-awanan” tidak saja pada motifnya yang berupa gambar menyerupai awan dengan warna-warna tegas seperti biru dan merah, tetapi juga pada nilai-nilai filosofi yang terkandung pada motifnya. Hal ini sangat erat berkaitan dengan sejarah lahirnya batik secara keseluruhan di Cirebon.

Belum jelas, kapan batik menjadi tradisi di daerah pesisir pantura. Dari beberapa penuturan, sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religius. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di Cirebon sekitar abad ke-16.

Budayawan dan pemerhati batik, Made Casta menuturkan, sejarah batik dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.

Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Djati merupakan ’pintu gerbang’ masuknya budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika itu, keraton menjadi pusat kosmik sehingga ide atau gagasan, pernik-pernik tradisi dan budaya Cina yang masuk bersama Putri Ong Tien menjadi pusat perhatian para seniman Cirebon. “Pernik-pernik Cina yang dibawa Putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Djati, menjadi inspirasi seniman termasuk pebatik,” tutur perupa Made Casta. Keramik Cina, porselen, atau kain sutra dari zaman Dinasti Ming dan Ching yang memiliki banyak motif, menginspirasi seniman Cirebon. Gambar simbol kebudayaan Cina, seperti burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin, banji (swastika atau simbol kehidupan abadi) menjadi akrab dengan masyarakat Cirebon. Para pebatik keraton menuangkannya dalam karya batik. Salah satunya motif megamendung.

“Tentu dengan sentuhan khas Cirebon, sehingga tidak sama persis. Pada megamendung, garis-garis awan motif Cina berupa bulatan atau lingkaran, sedangkan megamandung Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan berbentuk segitiga. Ini yang membedakan motif awan Cina dan Cirebon,” tutur Made Casta.

H. Komarudin Kudiya, S.I.P., M.Ds., Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) mengemukakan, persentuhan budaya Cina dengan seniman batik Cirebon melahirkan motif batik baru khas Cirebon.

Motif Cina hanya sebagai inspirasi. Seniman batik cirebon kemudian mengolahnya dengan cita rasa masyarakat setempat yang beragama Islam. Dari situ, lahirlah motif batik dengan ragam hias dan keunikan khas, seperti Paksi Naga Liman, Wadasan, Banji, Patran Keris, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, dan yang paling dikenal ialah megamendung.

“Meski megamendung terpengaruhi Cina, dalam penuangannya secara fundamental berbeda. Megamendung Cirebon sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya simbol perjalanan hidup manusia dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga sampai mati. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang kesemuanya menyimbolkan kebesaran Illahi,” tutur pemilik showroom “Batik Komar” di Jln. Sumbawa, Kota Bandung itu.

**

SEJARAH batik di Cirebon juga terkait perkembangan gerakan tarekat yang konon berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Oleh karena itu, kendati terpengaruh motif Cina, penuangan gambarnya berbeda, dan nuansa Islam mewarnai. Disitulah terletak kekhasannya.

Pengaruh tarekat terlihat pada Paksi Naga Lima. Motif itu merupakan simbol berisi pesan keagamaan yang diyakini tarekat itu. Paksi menggambarkan rajawali, naga adalah ular naga, dan liman itu gajah. Motif tersebut menggambarkan peperangan kebaikan melawan keburukan dalam mencapai kesempurnaan.

“Motif itu juga menggambarkan percampuran Islam, Cina, dan India. Para pengikut tarekat menyimpan pesan-pesan agamis melalui simbol yang menjadi motif karya seni termasuk pada motif-motif batik,” tutur Made Casta.

Pada megamendung, selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait kepemimpinan yang mengayomi, dan juga perlambang keluasan dan kesuburan. Komarudin mengemukakan, bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Ada nuansa sufisme di balik motif itu.

Membatik pada awalnya dikerjakan anggota tarekat yang mengabdi kepada keraton sebagai sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tersebut. Di Cirebon, para pengikut tarekat tinggal di Desa Trusmi dan sekitarnya seperti Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan, di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon.

Oleh karena itu, sampai sekarang batik cirebon, identik dengan batik trusmi. Masyarakat Trusmi sudah ratusan tahun mengenal batik. “Eyang dari eyang saya sudah mengenal batik. Sampai sekarang turun-temurun. Awalnya memang Trusmi, sekarang dengan perkembangan yang pesat, masyarakat desa lain juga mengikuti tradisi Trusmi,” tutur alumnus ITB yang juga pengurus Yayasan Batik Indonesia (YBI).

Keberadaan tarekat menjadikan batik cirebon berbeda dengan batik pesisir lain. Karena yang aktif di tarekat adalah laki-laki, mereka pula yang awalnya merintis tradisi batik. Ini berbeda dengan daerah lain, membatik melulu pekerjaan wanita.

Warna-warna cerah merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis, karena ada campur tangan laki-laki dalam proses pembuatan batik. Di Trusmi pekerjaan membatik merupakan pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota keluarga berperan, si bapak membuat rancangan gambar, ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya.

Oleh karena itu, warna-warna biru dan merah tua yang digunakan pada Motif Batik Megamendung Trusmi Cirebon, mengambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter.
http://talak-pindo.blogspot.com/2010/08/sejarah-motif-batik-mega-mendung.html

Kereta Singa Barong di CIrebon, Peninggalan Sejarah Berteknologi Modern


Sesosok mahluk terbang melintasi angkasa dengan sepasang sayap yang indah. Mahluk tersebut berbadan singa namun berkepala naga dengan belalai menyerupai gajah yang menggenggam sebilah trisula. Itulah sosok mahluk prabangsa (purba, imajiner – Red) yang dilihat pada suatu malam oleh Pangeran Losari, adik dari Panembahan Ratu I (raja Cirebon ke-2).

Ketika hal tersebut disampaikan kepada sang kakak, gambaran mahluk tersebut menjadi ide design untuk membuat kereta kerajaan baru, sebagai ganti dari pedati gede pekalangan. Melalui arsiteknya, Ki Natagana atau yang lebih dikenal dengan julukan Ki Gede Kaliwulu. Di bangunlah sebuah kereta Kerajaan yang bentuknya persis menyerupai sosok mahluk yang dilihat oleh Pangeran Losari tersebut. Kereta tersebut di beri nama Kereta Singa Barong yang selesai di buat pada tahun Jawa 1571 Saka (1649 M), dengan sengkalan (kode) tahun Saka: Iku Pandhita Buta Rupane (Itu Pendeta Raksasa Wujudnya).

Walaupun dibuat pada masa lampau, para ahli berpendapat, Kereta Singa Barong telah memiliki tehnologi yang canggih, yang telah banyak digunakan oleh kendaraan-kendaraan masa kini. Kereta tersebut memiliki suspensi sempurna, yang dapat meredam guncangan kereta saat melalui jalanan berbatu atau rusak, sehingga akan nyaman saat digunakan. Hal tersebut juga didukung dengan design roda yang diciptakan sesuai dengan suspensi yang dimiliki kereta, sehingga dapat berputar secara stabil. Roda kereta ini juga didesign untuk kondisi jalan becek, dimana posisi roda dibuat menonjol dari jari-jarinya, agar terhindar dari cipratan air saat melaju di jalanan yang becek. Kereta ini juga memiliki kemudi yang menggunakan sistem hidrolik, sehingga mudah dikemudikan oleh sais/kusirnya. Bahkan kedua sayap yang dimiliki oleh kereta ini dapat bergerak, seperti kepakan saat kereta berjalan.

Dengan segala kenyamanan yang dimilikinya, pada masa kesultanan dulu Kereta Singa Barong dijadikan sebagai kendaraan dinas sultan untuk berkunjung ke wilayah kekuasaannya hingga ke pelosok daerah. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kerbau bule, yang diyakini memiliki kekuatan lebih disbanding jenis kerbau biasanya.

Saat ini kereta Singa Barong sudah tidak lagi dipergunakan dan disimpan di dalam museum Keraton Kasepuhan sejak tahun 1942, beserta benda-benda pusaka milik keraton lainnya. Hanya replika/tiruan dari kereta ini yang dapat kita lihat menyelusuri jalanan pada momen-monen tertentu. Seperti pada Festival keraton nusantara misalnya, replika Kereta Singa Barong kerap disertakan dalam parade.











Sejak tahun 1942 kereta ini hanya dikeluarkan pada tanggal 1 Syawal untuk dimandikan. Kembarannya berada di Keraton Kanoman bernama Kereta Paksi Naga Liman. Kereta ini sangat menarik karena memperlihatkan hasil karya teknologi yang tinggi. Sistim suspensi hidrolik yang dibangun dengan kayu dan baja itu memungkinkan kenyamanan pemakaian si pengguna. Belum lagi desain roda yang menghindarkan pengendara dari lumpur yang terlontar dari roda. Bahwa enam abad yang lalu sudah ada teknologi yang begitu maju, rasanya sangat menakjubkan. Apalagi menurut pengantar wisata, teknologi ini diakui secara internasional sebagai teknologi yang maju di zamannya. Rupanya keraton bukan hanya tempat belajar kebudayaan dan sejarah, tetapi bisa juga menjadi tempat belajar sejarah kemajuan iptek di masa lalu.
http://zonapencarian.blogspot.com/2010/09/kereta-singa-barong-di-cirebon.html

Sejarah Cirebon menurut bahasa



Berdasarkan kitab Purwaka Caruban Nagari nama ‘Cirebon’ berasal dari kata sarumban yang lalu diucapkan menjadi caruban. Kemudian caruban menjadi carbon, cerbon dan akhirnya Cirebon. Sarumban sendiri berarti ‘campuran’.

‘Campuran’ dapat dikaitkan dengan keadaan Cirebon yang dihuni oleh berbagai suku dan budaya. Purwaka Caruban Nagari juga menyebutkan bahwa penduduk setempat menyebut Cirebon sebagai ‘Negeri Gede’. Sampai kini orang-orang di Cirebon masih ada yang menyebut Cirebon dengan ‘Garage’. Ucapan ini berasal dari negeri gede.

Kata Cirebon sendiri dapat ditelusuri lewat bahasanya yaitu Ci dan Rebon. Ci dalam bahasa Sunda berarti air, sedangkan rebon dalam bahasa Jawa berarti udang kecil bahan pembuat terasi.

Hikayat mengatakan, konon beberapa orang Rajagaluh datang ke rumah pangeran Cakrabuana (penguasa Cirebon). Mereka diberi jamuan makan dengan lauk terasi, maka setelah kembali para tamu itu bercerita kepada keluarga dan saudara serta orang didaerahnya tentang kenikmatan makan dengan rebon. Maka rebon menjadi terkenal di Rajagaluh.

Rajagaluh pula yang kemudian memerintahkan pemerintahannya untuk membeli produksi rebon. Maka, atas dasar ini daerah penghasil terasi rebon dinamakan Cirebon. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1445 dan menjadi tahun berdirinya kota Cirebon sekarang.

Dari kisah diatas dapat diketahui bahwa nama ‘Cirebon’ diberikan oleh orang-orang Sunda, dalam hal ini ialah Rajagaluh. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata Ci yang dalam bahasa Sunda berarti air atau sungai yang umum dipakai sebagai awalan nama-nama tempat di Pasundan. Akan tetapi kata Rebon adalah dari bahasa Jawa. Tampak lagi adanya campuran dari penggunaan kata ‘sarumban’ antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa.

Nama Cirebon sejak awal abad ke-16 mulai dikenal di dunia internasional. Tome Pires, musafir Portugis yang datang ke Nusantara pada awal abad ke-16 mencatat bahwa Cerbon pada saat ia singgahi merupakan kota pelabuhan yang ramai (Cortesao 1944:179). Nama Curban juga telah ada pada peta dunia yang ditulis oleh Diego Ribeiro pada tahun 1529 (Tiele 1883:2).
Data Toponimi Cirebon

Berdasarkan toponimi (http://en.wikipedia.org/wiki/Toponymy), ilmu asal-usul tempat berdasarkan kebahasaan, di Cirebon nampak adanya suatu penamaan tempat-tempat geografis dengan peninggalan sejarah masa lalu. Hal ini karena sepanjang waktu di daerah kota selalu terjadi perkembangan dan perubahan, baik perubahan sosial maupun perubahan fisik.

Dari nama-nama tempat yang ada kita dapat mengetahui adanya beberapa kelompok pemukiman di Cirebon, yaitu kelompok-kelompok berdasarkan profesi seperti; Panjunan (tempat pembuat enjun), Pesuketan (tempat penjual rumput), Pagongan (tempat penjual gong), parujakan (tempat penjual rujak uuntuk tujuh bulanaan hamil wanita),Pengampon (tempat pembuat kapur dari kulit kerang), Pandesan (tempat membuat padesan untuk mengambil air wudhu), dan lain-lain.

Selain itu ada tempat yang dinamakan berdasarkan suku atau ras seperti; Pecinan (tempat orang-orang Cina, Kejawanan (dulu tempat berhentinya pasukan Mataram yang akan menyerang Cirebon).

Masih banyak lagi nama-nama tempat di Cirebon tidak termasuk dalam kelompok yang tidak disebutkan diatas. Hal ini karena tempat-tempat tersebut tidak mengacu pada suatu kelompok masyarakat khusus, tetapi mengacu pada hal lain seperti peristiwa, fungsi, flora, fauna dan lain-lain.

Contoh uraian ini menunjukkan pola penamaan suatu tempat yang diambil dari berbagai hal, yaitu;
A. Nama Flora
Mandu,dulunya banyak pohon mundu.
Gambira, kebonpring, dulunya banyak pohon bambu.

B. Nama peristwa
Pronggol, banyak pohon yang ditebangi oleh pasukan Mataram untuk markas.

Pagajahan, banyak terdapat gajah-gajah pemberian luar negeri ke Cirebon.
Peklutukan, terdapat mata air yang mendidih keluar dari tanah.

C. Fungsi tempat
Pabean, pelabuhan.
Pelandratan, tempat pengadilan di Cirebon.
Jagabayan, tempat penjaga keamanan.
Pekawatan, tempat persediaan kawat telpon.

D. Nama Jabatan
Kasepuhan, tempat Sultan Sepuh.
Kanoman, tempat Sultan Anom.

Dari data toponimi yang ada, Cirebon merupakan suatu kota yang sudah lama berkembang. Nama-nama diatas menunjukkan suatu masyarakat kota yang kompleks, dengan berbagai macam profesi, suku, status dan aktifitasnya.

Jumlah penduduk kota Cirebon merupakan tergolong cukup banyak. Berbeda dengan Banten Lama yang perkembangan kotanya beralih ke daerah sekarang yang sekitar 14 km dari Banten Lama. Di Cirebon perkembangan kota terjadi di lokasi semula dan meluas ke daerah sekitarnya. Hal ini pula yang menyebabkan suatu tempat tidak identik lagi dengan namanya. Kini data toponimi Cirebon umumnya berupa nama desa, nama jalan, juga nama pasar.

Daerah Cirebon merupakan puasat penyebaran agama Islam di Jawa. Selain Sunan Gunung Jati, banyak pula ulama dan pengajar-pengajar penyebar agama Islam. Data toponimi yang memperkuat bukti ini, dengan diketahui adanya tempat dengan nama Pekalipan yang berasal dari kata Khalifah.

Pengaruh bahasa menentukan sebagai indikator dalam data toponimi, dengan banyaknya daerah Cirebon yang memakai bahasa pada awalan pe- atau ke- pada kata dasar. Awalan tersebut adalah pengaruh dari bahasa Jawa. Jika pengaruh bahasa Sunda adalah pada pengunaan awalan pa- atau ka-. Masyarakat kota Cirebon umumnya memang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan bahasa lebih banyak dipakai oleh masyarakat yang tinggal di sebelah selatan kota.

Pengaruh bahasa pula yang menentukan ciri khas Cirebon. Sebuah kota dengan budaya multikultur. Dimana perbedaan, di kota ini, adalah perwujudan nyata dari rahmat illahi.

Sumber : Arief Kurniawan-buntet pesantren.com

Sejarah Cirebon

Keraton Kasepuhan Cirebon

Mengawali cerita Sejarah Cirebon ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.


Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.

Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya.

Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.

Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.

Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.

Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga.

Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.


Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.

Sumber : http://talak-pindo.blogspot.com/2010/07/sejarah-cirebon.html

Senin, 25 Oktober 2010

SELAMAT DATANG

KAMI HADIR DISINI HANYA UNTUK MEMPERKENALKAN CIREBON YANG DAHULU DIKENAL "CARUBAN NAGARI", KINI ADALAH SEBUAH KOTA DIWILAYAH III CIREBON YANG TERKENAL DENGAN KOTA WALI, KOTA PERDAGANGAN DAN JASA SERTA KOTA PARIWISATA. KOTA CIREBON MEMILIKI 3 (TIGA) KERATON YAKNI KERATON KASEPUHAn,KERATON KANOMAN DAN KERATON KACIREBONAN